REPUBLIKA.CO.ID, RAKHINE -- Amnesty International menekankan perlu adanya investigasi independen untuk menyelidiki tindak kejahatan kelompok bersenjata Rohingya, Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Hal itu karena pihaknya menemukan bukti baru yang mengkonfirmasi bahwa mereka membantai komunitas Hindu di Rakhine, Myanmar.
"Serangan ARSA yang mengerikan diikuti oleh kampanye pembersihan etnis militer Myanmar terhadap penduduk Rohingya secara keseluruhan. Keduanya harus dikecam pelanggaran hak asasi manusia atau pelanggaran oleh satu pihak tidak pernah membenarkan pelanggaran atau pelanggaran oleh pihak lain," kata Direktur Penanggulangan Krisis di Amnesty International Tirana Hassan, menurut pernyataan pers yang diterima Republika.co.id, Rabu (23/5).
"Semua keluarga korban dan korban memiliki hak atas keadilan, kebenaran, dan reparasi atas kerugian besar yang mereka derita."
Pada pertemuan Dewan Keamanan PBB pekan lalu, perwakilan permanen Myanmar mengkritik PBB karena hanya mendengarkan "satu sisi" dari cerita dan gagal untuk mengakui pelanggaran yang dilakukan oleh ARSA. Pemerintah Myanmar tidak dapat mengkritik komunitas internasional sebagai satu sisi sementara pada saat yang sama menolak akses ke Rakhine utara. "Tingkat sepenuhnya pelanggaran ARSA dan pelanggaran militer Myanmar tidak akan diketahui sampai penyelidik independen hak asasi manusia, termasuk misi Pencarian Fakta PBB, diberikan akses penuh dan tidak terbatas ke Negara Bagian Rakhine," ujarnya.
Amnesty International telah mendokumentasikan pelanggaran hak asasi manusia serius yang dilakukan oleh ARSA selama dan setelah serangan pada akhir Agustus 2017. Laporan tersebut fokus pada kejahatan-kejahatan serius seperti pembunuhan di luar hukum dan penculikan yang dilakukan oleh militan ARSA terhadap komunitas Hindu yang tinggal di Rakhine utara.
Di kemah-kemah para pengungsi di Bangladesh pada bulan September 2017, Amnesty International melakukan 12 wawancara dengan anggota komunitas Hindu yang meninggalkan Myanmar waktu kekerasan terjadi.
Pada April 2018, Amnesty International melakukan penelitian tentang pelanggaran dan serangan ARSA di Sittwe, Myanmar, mewawancarai 10 orang tambahan dari komunitas Hindu dan 33 orang dari komunitas etnis Rakhine, Khami, Mro, dan Thet, yang semuanya berasal dari Rakhine utara. Pada Mei 2018, enam orang lagi dari daerah di mana pembunuhan terhadap komunitas Hindu terjadi diwawancarai melalui telepon dari luar daerah.
Tingkat pelanggaran hak asasi manusia sepenuhnya oleh ARSA sulit untuk ditentukan, sebagian besar karena pihak berwenang Myanmar terus membatasi akses ke Negara Rakhine utara. Pembatasan akses membuat anggota dari semua etnis minoritas dan komunitas agama yang masih tinggal di wilayah tersebut sangat sulit untuk berbicara tentang pengalaman. Mereka juga sulit mendapatkan dukungan dan bantuan yang mereka butuhkan.