REPUBLIKA.CO.ID, Seo Ok-yeol telah menghabiskan hidupnya selama hampir enam dekade terperangkap di negara musuh, Korea Selatan (Korsel). Mata-mata Korea Utara (Korut) ini sebelumnya sempat menjalani hukuman penjara selama 29 tahun.
Ia sering mendapatkan siksaan dari polisi Korsel sebelum akhirnya dibebaskan dalam keadaan miskin dan dalam pengawasan polisi. Saat ini, pria berusia 89 tahun yang lebih banyak terbaring di tempat tidur karena sakit itu mengaku sangat merindukan rumahnya di Korut.
"Orang-orang harus mati di tempat mereka dihormati," kata Seo yang mengaku khawatir tidak dapat bersatu kembali dengan istri dan anak-anak yang telah ditinggalkannya.
Seo lahir di sebuah pulau kecil di lepas pantai barat daya Semenanjung Korea yang saat itu masih dikuasai Jepang. Selama Perang Korea 1950-1953 ia menjadi sukarelawan untuk Tentara Rakyat Korea Utara. Setelah perang berakhir, ia menetap di Korut dan akhirnya menjadi mata-mata.
Dia ditangkap pada 1961 setelah berenang menyeberangi sungai ke Korsel. Menurut dia, hal itu ia lakukan sebagai bagian dari misi untuk mempromosikan unifikasi Korea.
Seperti banyak mata-mata lainnya, Seo tidak sempat mengucapkan selamat tinggal kepada istri dan dua bayi laki-lakinya karena misinya mengharuskan ia menjaga kerahasiaan dengan ketat. Seo, yang istrinya berusia 87 tahun jika masih hidup, tidak pernah menikah lagi.
Seo adalah salah satu dari 19 mata-mata Korut yang telah menghabiskan waktunya mendekam di penjara Korsel. Meski mereka secara resmi telah bebas sekarang, Seoul menolak membiarkan mereka kembali ke Pyongyang, mengingat masih banyak warga Korsel yang ditahan di Korut.
Laman Associated Press atau AP telah berbicara dengan tujuh mantan mata-mata Korut di Korsel yang semuanya pria berusia 80-an dan 90-an. Mereka berkeras bahwa Korut adalah "tanah ideologi" mereka.
Mereka mengaku merasa optimistis saat mendengar berita tentang pertemuan antara pemimpin Korut Kim Jong-un dan Presiden Korsel Moon Jae-in bulan lalu. Kedua pemimpin itu telah berjanji akan menyelesaikan semua masalah kemanusiaan yang disebabkan oleh perpecahan kedua Korea sejak puluhan tahun lalu.
"Saya menangis bahagia. Saya memiliki secercah harapan bahwa masalah kami dapat diselesaikan," kata Yang Hee-chul, seorang mantan mata-mata Korut yang kini berusia 82 tahun. Pada 2000, saat pemimpin Korut dan Korsel bertemu, Seoul memutuskan untuk memulangkan 63 mata-mata Korut.
Puluhan warga Korut lainnya yang telah menjalani hukuman penjara di Korsel kemudian mengajukan permohonan pemulangan, tetapi permohonan itu tidak dikabulkan sampai beberapa tahanan meninggal dunia.
Kepada AP, Kementerian Unifikasi Korsel mengatakan tidak sedang mempertimbangkan untuk memulangkan kembali mata-mata Korut. Namun, Korut belum lama ini meminta Korsel melakukannya.
Sebagian besar mata-mata Korut menghabiskan waktu puluhan tahun di penjara Korsel. Saat berada di tahanan, mereka mengaku disiksa untuk membuat mereka meninggalkan keyakinan komunis.
Kim Young-sik, yang bekerja sebagai operator radio di sebuah kapal mata-mata Korut dan ditangkap pada 1962, mengaku mengalami siksaan hingga 1973. Dia mengatakan, seorang narapidana mengikatnya di sebuah papan, menaruh handuk tipis di wajahnya, dan menuangkan air dari ketel ke wajahnya.
"Saya merasa seperti sedang sekarat. Saya masih sangat marah. Bagaimana mungkin mereka menyiksa saya untuk memaksa saya melepaskan sebuah ideologi yang saya percaya benar?" kata pria berusia 85 tahun itu.
Namun, tidak semuanya bernasib buruk. Sebanyak 63 tahanan yang dipulangkan pada 2000 dipilih oleh Seoul karena mereka tidak pernah mengingkari komunisme selama mereka di penjara. Mereka menerima sambutan bak pahlawan di Pyongyang oleh ratusan ribu orang. ¦ ap ed: yeyen rostiyani