Jumat 25 May 2018 19:35 WIB

Pertaruhan Warga Palestina Seberangi Rafah Keluar Gaza

Warga Palestina harus menjalani berbagai rintangan untuk keluar negaranya.

Rep: Marniati/ Red: Nur Aini
 Pos penyeberangan perbatasan Rafah, antara Mesir dan Jalur Gaza, di Rafah, Mesir.
Foto: AP/Roger Anis
Pos penyeberangan perbatasan Rafah, antara Mesir dan Jalur Gaza, di Rafah, Mesir.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Pagi itu, Hamed al-Shaer menuruni tangga sempit di rumah keluarganya di Gaza selatan. Ia membawa sebuah koper hitam dan mengucapkan selamat tinggal kepada ibunya. Mereka berpelukan di pintu gerbang dan dia mencium tangan ibunya untuk menunjukkan rasa hormat sembari mengendalikan emosinya.

"Emigrasi lebih baik," katanya.

Al-Shaer berencana kembali ke Arab Saudi. Di sana ia telah tinggal selama 13 tahun terakhir. Pekerjaan terakhirnya sebagai sopir.

Tetapi menjelang malam hari ia kembali ke rumahnya. Ia merasa putus asa. Saat itu adalah kali ketiganya Al-Shaer berusaha keluar dari Jalur Gaza yang diblokade melalui perbatasan Rafah. Namun, ketiga usahanya itu gagal.

Mesir membuka Rafah selama Ramadhan. Hal itu untuk mengurangi blokade perbatasan Gaza yang telah diberlakukan, bersama dengan Israel, selama 11 tahun terakhir.

Namun usaha Mesir tersebut tidak sebanding dengan daftar orang yang antre untuk melewati perbatasan. Ribuan orang berada dalam daftar tunggu, termasuk al-Shaer. Tetapi proses yang dilakukan oleh pihak berwenang Mesir begitu lambat.

Al-Shaer, semakin putus asa. Jika dia tidak keluar pada awal Juni, izin tinggalnya di Saudi akan berakhir. "Saya terkejut," kata al-Shaer. Ia telah mempertimbangkan untuk tidak kembali ke rumah ibunya setelah upaya terakhirnya gagal. Pertimbangannya itu karena ia tidak ingin menjalani proses perpisahan yang begitu emosional kepada ibunya.

Kendati demikian pria berusia 34 tahun masih menganggap dirinya beruntung. Sebagian besar penduduk Gaza tidak dapat melakukan perjalanan sama sekali di bawah blokade ketat yang diberlakukan setelah kelompok Hamas merebut wilayah itu pada 2007.

Blokade tersebut telah merampas hak warga Gaza untuk memperoleh kesempatan dalam hidupnya. Jajak pendapat menunjukkan satu dari dua warga Gaza akan beremigrasi jika diberi kesempatan. Dua pertiga dari anak-anak muda menganggur.

Al-Shaer berasal dari keluarga khas Gaza di mana mereka bisa pergi mencari keberuntungan di luar negeri. Tiga saudara laki-lakinya bekerja di Arab Saudi dan satu lagi di Bahrain. Dia meninggalkan Gaza pada 2005, sebelum blokade, dilakukan permanen di ibu kota Saudi, Riyadh. Selama setahun terakhir, dia telah bekerja sebagai sopir pribadi seorang eksekutif perusahaan.

Pada September, dia kembali ke Gaza karena rindu orang tuanya. Ia juga menikahi wanita setempat pada Desember.

Al-Shaer pertama kali terdaftar di daftar tunggu Kementerian Dalam Negeri Gaza pada November. Saat itu ia diberitahu oleh petugas setempat bahwa butuh lebih dari satu tahun untuk meninggalkan Gaza. Rafah telah ditutup selama 110 hari tahun ini. Sementara jumlah daftar tunggu sekitar 25 ribu. Meskipun tidak semuanya masih berencana melakukan perjalanan.

Dia memulai upaya lobi, sering mengunjungi kementerian dan bahkan mendekati pejabat kementerian di sebuah masjid lingkungan. Al-Shaer berpendapat bahwa ia harus diizinkan untuk pergi lebih cepat sehingga ia tidak akan kehilangan tempat tinggalnya di Saudi.

Bagi mereka yang memiliki uang, ada juga pilihan apa yang disebut penduduk Gaza sebagai "koordinasi Mesir." Hal itu mengacu pada pembayaran hingga 3.000 dolar AS per orang, kepada perantara Palestina yang mengklaim memiliki koneksi di pihak Mesir. Baik Mesir dan Hamas menyangkal menerima suap, meskipun beberapa pelancong telah menyaksikan orang-orang dipindahkan ke garis depan untuk "koordinasi."

Shaer mengatakan pada akhirnya dia dapat meyakinkan para pejabat Hamas bahwa dia layak untuk dipindahkan ke daftar tunggu. Pada Sabtu, dia diberi tahu dapat pergi meninggalkan Gaza. Namun ia harus melapor keesokan harinya di sebuah gedung olahraga yang berfungsi sebagai aula keberangkatan.

Al-Shaer gembira sekaligus khawatir. Pejabat perbatasan Mesir hanya mengurus sekitar 250 orang per hari atau sekitar sepertiga dari volume biasa di masa lalu. Akibatnya, banyak yang dijadwalkan untuk bepergian harus menunggu berjam-jam di dekat perbatasan. Setelah menunggu berjam-jam mereka diberitahu untuk kembali keesokan harinya.

Pada Ahad, al-Shaer berada di aula keberangkatan, menunggu gilirannya. Dia terus memeriksa teleponnya dan mondar-mandir ketika para pejabat Hamas memanggil nama. Beberapa wisatawan melambai-lambaikan kertas, berharap mendapat perhatian para pejabat.

Al-Shaer tidak mendapatkan gilirannya hingga Senin. Akhirnya pada Selasa, dia bisa naik bus menuju perbatasan, tetapi dia dan teman seperjalanannya ditolak pada menit terakhir karena persimpangan akan segera tutup.

Pada Rabu pagi, dia meninggalkan rumah orang tuanya di kota Khan Younis sekitar pukul 6.40 pagi. Empat jam kemudian, dia telah mencapai sisi Palestina dari perlintasan Rafah dan paspornya telah dicap. Menjelang tengah hari, bus itu tiba di sisi perbatasan Mesir.

Al-Shaer dan para penumpang lainnya akhirnya menghabiskan malam di sana. Penumpang Gaza hanya dapat melakukan perjalanan dengan bus selama siang hari dari Rafah ke ibu kota Mesir Kairo dan bandara kota.

Bus yang melintasi Sinai harus berhenti di belasan pos pemeriksaan militer. Di masing-masing pos, penumpang turun dari bus dan membuka bagasi mereka untuk diperiksa. Musim gugur yang lalu, Al-Shaer membutuhkan waktu tiga hari untuk pergi dari bandara Kairo ke Rafah.

Kali ini, perjalanannya melalui Sinai memakan waktu lebih dari 13 jam. Pukul 8.30 malam, al-Shaer akhirnya menyeberangi Terusan Suez, busnya menuju bandara, tempat dia akan mencoba memesan penerbangan setelah perjalanan yang melelahkan.

Istrinya tetap di Gaza untuk sementara waktu. Shaer akan mengajak istrinya setelah dia dapat mengatur izin tinggal untuk istrinya di Saudi.

Al-Shaer mengaku meninggalkan Gaza dengan perasaan campur aduk. Ia mengaku senang dapat menghabiskan waktu dengan orang tuanya dan menemukan seorang istri. Tetapi ia juga merasa cemas dan kesal dengan biaya dan prosedur rumit.

"Anda dapat kehilangan tempat tinggal, pekerjaan dan masa depan Anda. Anda rela mengorbankan semua itu hanya untuk melihat keluarga Anda," katanya.

Israel hanya mengizinkan sejumlah kecil pasien medis, pebisnis, dan pekerja bantuan untuk keluar setiap bulan. Mesir membuka Rafah secara sporadis, dan mereka yang mencoba meninggalkan Gaza harus mendaftar dengan Hamas, yang mengutamakan pasien, mahasiswa di universitas asing, warga negara ganda, dan mereka yang tinggal di negara-negara ketiga.

Dalam beberapa pekan terakhir, protes anti blokade di perbatasan Gaza-Israel telah menimbulkan kesulitan baru yang dihadapi oleh dua juta orang Gaza. Jumlah korban yang tinggi selama protes telah memberikan urgensi baru pada upaya internasional untuk memperbaiki kondisi di Gaza.

Dua pejabat senior Hamas mengatakan pembicaraan rahasia sedang berlangsung, melalui mediator seperti Swiss dan Norwegia. Mereka meminta agar PBB memimpin dalam meningkatkan situasi kemanusiaan di Gaza. Selama satu dekade terakhir, kebuntuan telah mencegah perubahan mendasar di Gaza.

Israel, yang bersama dengan sekutu Baratnya menganggap Hamas sebagai kelompok teroris. Mereka mengatakan blokade diperlukan untuk mencegah kelompok itu mempersenjatai diri.

Sumbangan Hamas, termasuk gencatan senjata jangka panjang dengan Israel dan menyerahkan kekuasaan di Gaza kepada saingan politiknya, Presiden Mahmoud Abbas belum menunjukkan hasil.

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement