Ahad 27 May 2018 22:30 WIB

Israel Pertimbangkan Larangan Memotret Aktivitas Militer

Larangan tersebut disinyalir bertujuan membungkam kritik terhadap militer Israel.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Reiny Dwinanda
Tentara Israel menangkap pemuda Palestina (ilustrasi)
Foto: AFP
Tentara Israel menangkap pemuda Palestina (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Parlemen Israel akan mempertimbangkan rancangan undang-undang (RUU) yang melarang pemotretan atau perekaman aktivitas tentara. Para kritikus menyebut RUU tersebut sebagai upaya berbahaya untuk melemahkan pengawasan terhadap Pasukan Pertahanan Israel (IDF).

Di bawah RUU Prohibition against Photocopying and Documenting IDF Soldiers yang telah diusulkan, siapa pun yang tertangkap memotret tentara Israel dengan maksud untuk merusak semangat mereka, dapat dihukum hingga 10 tahun penjara.

"Siapa pun yang memfilmkan, memfoto, dan/atau merekam tentara yang sedang menjalankan tugas mereka, dengan maksud untuk merusak semangat tentara IDF dan penduduk Israel, maka akan dijerat lima tahun penjara," kata RUU yang diusulkan oleh Robert Ilatov, anggota Knesset dan ketua partai nasionalis sayap kanan Yisrael Beiteinu.

"Siapa pun yang bermaksud membahayakan keamanan negara akan dijatuhi hukuman penjara 10 tahun," tambah RUU itu, dikutip The Independent.

Proposal RUU itu diajukan setelah kerusuhan mematikan terjadi di Gaza pada Senin (14/5) lalu. Para pejabat medis mengatakan, sedikitnya 60 warga Palestina tewas dan ribuan lainnya terluka, ketika pasukan Israel menembaki para demonstran yang memprotes pendudukan Israel di hari itu.

RUU itu dilaporkan didukung oleh Menteri Pertahanan Israel Avigdor Liberman.Catatan penjelasan yang menyertai RUU tersebut mengatakan, "Selama bertahun-tahun, Israel telah menyaksikan fenomena mengkhawatirkan dokumentasi tentara IDF."

Baca juga: Tentara Israel Tembak Mati Dua Anggota Jihad Islam di Gaza

Dokumentasi ini dilakukan melalui rekaman video dan audio oleh organisasi anti-Israel dan pro-Palestina, seperti B'telem, MachsomWatch, Breaking the Silence, dan berbagai organisasi BDS. "Dalam banyak kasus, organisasi itu menghabiskan waktu berhari-hari berada di dekat tentara IDF dan mereka bisa dipermalukan," tambah catatan itu.

"Kami memiliki tanggung jawab untuk menyediakan kondisi optimal bagi tentara IDF untuk melaksanakan tugas mereka, tanpa harus khawatir tentang seseorang atau organisasi yang mungkin mempublikasikan gambar mereka dan mempermalukan mereka," ujar catatan itu.

Sebuah editorial di surat kabar Israel, Haaretz, yang diterbitkan pada Ahad (27/5), mengutuk RUU itu. Haaretz menyebut RUU tersebut berbahaya dan tujuannya adalah untuk membungkam kritik terhadap tentara, dan khususnya untuk mencegah organisasi hak asasi manusia mendokumentasikan tindakan tentara Israel di sejumlah wilayah.

Akibat dari larangan semacam itu adalah ancaman terhadap hak asasi manusia dan ancaman dalam mengawasi kegiatan tentara. RUU itu merugikan kebebasan pers dan hak publik untuk mengetahuinya. "Publik memiliki hak untuk mengetahui apa realitasnya," tulis editorial itu.

Kekerasan di Gaza telah mereda sejak 14 Mei, tetapi masih ada gejolak sporadis. Setidaknya 113 warga Palestina telah tewas sejak protes di perbatasan Israel-Gaza dimulai pada 30 Maret lalu.

Aksi protes itu menuntut hak untuk kembali bagi para pengungsi Palestina dan keturunan mereka ke tanah dan rumah-rumah yang diambil Israel dalam perang 1948. Gaza telah dikendalikan oleh kelompok Hamas sejak 2007 dan Israel menuduh kelompok itu telah memprovokasi kekerasan di perbatasan.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement