REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) kembali mengomentari aktivitas Cina di Laut Cina Selatan (LCS). Washington menilai, pergerakan militer Negeri Tirai Bambu di perairan sengketa itu menunjukan jika mereka bukanlah tetangga yang baik.
"Pengerahan rudal oleh Cina di LCS dilakukan untuk mengintimidasi dan memaksa tetangga mereka," kata Menteri Pertahanan AS Jim Mattis seperti diwartakan BBC, Sabtu (2/6).
Mattis mengatakan, Cina telah memasang perlengkapan militer beperangkat keras seperti rudal anti-kapal, roket dari bawah laut hingga pengacak sinyal di perairan LCS. Menurut Mattis, tujuan Beijing berada di laut konflik tersebut perlu dipertanyakan.
"Lepas dari klaim Cina terhadap perairan itu, penempatan sistem senjata militer ditujukan untuk mengintimidasi dan memaksa," tegas Mattis lagi.
Mattis mengatakan, pemerintah AS sebenarnya ingin membina hubungan baik dan konstruktif dengan Cina. Dia melanjutkan, hal ini tak lepas dari pengaruh Cina hingga memiliki peran di kawasan.
Namun, jelas Mattis, Paman Sam tetap akan melakukan persaingan sehat dengan negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping tersebut.
Baca juga, Cina Perkuat Militer di Laut Cina Selatan.
Seperti diketahui, LCS merupakan salah satu jalur perdagangan tersibuk di dunia. Perairan tersebut disengketakan oleh enam negara yakni, Malaysia, Filipina, Taiwan, Vietnam dan Brunei Darussalam.
LCS menjadi polemik lantaran merupakan jalur laut strategis. Perairan tersebut dilalui kapal muatan barang dagang senilai lebih dari 5 triliun dolar AS setiap tahun. Belum lagi potensi perikanan yang dapat memasok pangan warga di kawasan tersebut.
Konflik menyangkut LCS dimulai pada penetrasi yang dilakukan Cina yang mengklaim sepihak terhadap kepemilikan mayoritas wilayah perairan tersebut. Klaim bermula saat Cina memproduksi peta LCS yang menyertakan sembilan garis putus-putus.
Cina menyatakan bahwa wilayah yang masuk dalam lingkaran garis itu adalah kawasan teritorial mereka. Peta tersebut dikeluarkan pada 1947 silam. Peta tersebut menyertakan kepulauan Paracel dan Spratly sebagai bagian dari wilayah Cina.
Kawasan kepulauan Spratly dan Paracel yang menjadi sengketa sebenarnya merupakan wilayah tidak berpenghuni. Kendati, kedua pulau itu disebut-sebut memiliki cadangan sumber daya alam meski belum diketahui seberapa besar sumber daya yang disimpan. Itu lantaran masih minimnya ekplorasi yang dilakukan di kawasan tersebut.
Namun, kawasan ini disebut-sebut memiliki cadangan minyak bumi terbukti sebesar 1,2 km (7,7 miliar barel) dengan perkiraan total 4,5 km (28 miliar barel). Cadangan gas alamnya diperkirakan sebesar 7.500 km (266 triliun kaki kubik).
Laporan Energy Information Administration Amerika Serikat pada 2013 lalu menaikkan perkiraan total cadangan minyak di sana menjadi 11 miliar barel. Pada 2014, Cina memulai pencarian minyak di perairan yang dipersengketakan dengan Vietnam.