REPUBLIKA.CO.ID, PARIS -- Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan pertemuan dengan Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu di Paris pada Selasa (5/6). Kesepakatan nuklir Iran menjadi salah satu isu utama yang dibahas keduanya dalam pertemuan tersebut.
"Rekan-rekan saya di Eropa dan saya berpikir ada kebutuhan mempertahankan kesepakatan nuklir, tetapi kami prihatin dengan kegiatan Iran di Timur Tengah," kata Macron saat menggelar konferensi pers bersama seusai pertemuannya dengan Netanyahu, dilaporkan laman Anadolu.
Ia mengatakan kepada Netanyahu kesepakatan nuklir Iran atau dikenal dengan istilah Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) harus dipertahankan. Bahkan jika kesepakatan tersebut belum dinilai cukup dan memuaskan.
"Kami ingin membawa stabilitas ke Timur Tengah dan kesepakatan nuklir adalah bagian dari (upaya) itu. Tapi kesepakatan harus diperpanjang dengan tambahan 10 tahun, dan kami harus mempertimbangkan agresi Iran di kawasan dan program rudal balistiknya," ujar Macron.
Demonstrasi di Paris, Prancis, Selasa (5/6), menuntut keadilan untuk Palestina. PM Israel Benjamin Netanyahu saat itu sedang berada di Paris.(AP Photo/Thibault Camus)
Dalam kesempatan itu, Macron memperingatkan semua pihak agar tidak terpancing eskalasi yang mengarah ke konflik setelah Iran mengumumkan akan meningkatkan kapasitas pengayaan uraniumnya. "Saya mengajak semua orang untuk menstabilkan situasi dan tidak menyerah pada eskalasi ini karena itu hanya mengarah pada satu hal, konflik," ucapnya.
Netanyahu mengatakan dia tidak meminta Prancis menarik diri dari kesepakatan nuklir Iran. Sebab ia yakin tekanan ekonomi akan membongkarnya. "Saya tidak meminta Prancis mundur dari JCPOA karena saya pikir itu akan dibubarkan oleh kekuatan ekonomi," katanya.
Prancis, Inggris, Jerman, beserta Uni Eropa tengah berupaya mempertahankan JCPOA setelah Amerika Serikat (AS) hengkang dari kesepakatan tersebut pada 8 Mei lalu. Mereka berpendapat kesepakatan nuklir Iran masih berfungsi sebagai alat menciptakan stabilitas di kawasan Timur Tengah.
Namun AS berpandangan lain. Presiden AS Donald Trump menilai kesepakatan nuklir masih belum memadai karena memberi ruang kepada Iran untuk mengembangkan rudal balistiknya. Dalam kesepakatan tersebut memang tak disinggung perihal kegiatan pengembangan rudal Iran.
Kesepakatan yang ditandatangani pada 2015 itu hanya mewajibkan Iran tidak memanfaatkan nuklir untuk kepentingan militer. Nuklir hanya diizinkan digunakan untuk kepentingan sipil atau energi saja. Sebagai gantinya, sanksi ekonomi yang diterapkan kepadanya akan dicabut.