Rabu 06 Jun 2018 18:37 WIB

Myanmar dan PBB Sepakati Perjanjian Repatriasi Rohingya

Kelompok HAM pesimistis proses repatriasi pengungsi Rohingya yang aman dapat terealis

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Friska Yolanda
Sejumlah anak Rohingya bermain di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.
Foto: Edwin Dwi Putranto/Republika
Sejumlah anak Rohingya bermain di Kamp Pengungsi Rohingya di Propinsi Sittwe, Myanmar.

REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Myanmar dan PBB telah menandatangani perjanjian tentang repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh, Rabu (6/6). Dalam perjanjian tersebut disepakati tentang perlunya membentuk kerangka kerja sama yang bertujuan menciptakan kondisi repatriasi secara sukarela, aman, bermartabat, dan berkelanjutan.

Koordinator Kemanusiaan PBB di Myanmar Knut Ostby mengatakan, perjanjian yang baru saja disepakati merupakan langkah pertama yang penting menuju penyelesaian krisis. "Ada banyak pekerjaan yang harus dilakukan. Tugas ini seharusnya tidak diremehkan," katanya.

Ia mengatakan proses pemulangan 700 ribu pengungsi Rohingya dari Bangladesh ke Myanmar tentu bukan pekerjaan sederahana. "Kondisi harus tepat bagi mereka untuk kembali. Dalam hal identitas mereka di masyarakat, dalam hal keselamatan, dan juga dalam hal layanan, mata pencaharian, tempat tinggal, dan infrastruktur," kata Ostby menerangkan.

Baca juga, Rohingya: Tentara Myanmar Targetkan Warga Berpendidikan

Kendati telah menyepakati perjanjian dengan PBB, kelompok-kelompok hak asasi manusia tetap pesimistis proses repatriasi pengungsi Rohingya yang aman dan bermartabat dapat terealisasi. Direktur Eksekutif Jaringan Hak Asasi Manusia Burma Kyaw Win menilai penandatanganan perjanjian dengan PBB adalah hal mudah dilakukan. Namun persoalannya bagaimana Pemerintah Myanmar berkomitmen terhadap janjinya sendiri.

"Bagaimana Pemerintah Myanmar menjamin orang-orang ini tidak akan menghadapi penganiayaan lagi? Sangatlah mudah secara politis bagi Pemerintah Myanmar untuk menandatangani perjanjian ini dan juga tidak pernah berkomitmen," kata Kyaw Win.

Lebih dari setengah juta warga Rohingya telah melarikan diri dan mengungsi ke Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi di negara bagian Rakhine pada Agustus tahun lalu. Operasi digelar dalam rangka memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Namun dalam pelaksanaannya pasukan atau para tentara Myanmar turut menyerang dan menghabisi warga sipil Rohingya di sana.

Baca juga, Tentara Myanmar Sasar Warga Terdidik Rohingya dalam Genosida

PBB telah menyatakan bahwa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis. PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia.

Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi. Namun pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.

Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement