REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Industri pariwisata memperingatkan tentang konsekuensi finansial terhadap kebijakan larangan kunjungan wisatawan asal Indonesia. Pejabat di industri pariwisata Israel memprotes keputusan Kementerian Luar Negeri Israel atas larangan tersebut.
Kepala Asosiasi Operator Tur Datang Israel, Yossi Fatael menyambut keputusan penundaan penerapan larangan tersebut. Ia bahkan berharap kebijakan itu tidak diberlakukan.
Fatael mengirim surat kepada Direktur Jenderal Kementerian Luar Negeri Yuval Rotem dan Menteri Pariwisata Yariv Levin meminta untuk mengadakan pertemuan penting atas konsekuensi dari langkah itu.
"Kami menyerukan kepada Kementerian Luar Negeri untuk mempertimbangkan kembali pendiriannya, yang dianggap oleh rekan-rekan kami di seluruh dunia sebagai tidak proporsional, berlebihan, dan berbahaya bagi institusi Kristen secara keseluruhan dan tidak hanya wisatawan dari Indonesia," tulis Fatael dilansir dari Times of Israel beberapa waktu lalu.
Dia menyoroti salah satu konsekuensi dari kebijakan itu adalah masalah keuangan bagi biro perjalanan Israel, hotel, perusahaan bus, pemandu wisata, dan lain-lain.
Pengelola perusahaan Perjalanan Keabadian di Yerusalem, Sana Srouji mengatakan kebijakan itu akan memukul perusahaannya, dan 10 agen perjalanan wisata lainnya. Sebab, ia mengatakan, sekitar 70 persen pendapatan mereka berasal dari wisatawan Indonesia.
"Mereka (wisatawan Indonesia) adalah pecinta Israel yang ingin berkunjung dan juga menyumbang banyak uang," ujar dia.
Baca juga, Batas Larangan WNI ke Israel Diundur Hingga 27 Juni 2018
Srouji mengatakan banyak calon wisatawan asal Indonesia yang sudah mengantongi tiket pesawat. Namun, karena kebijakan tersebut, mereka terpaksa membatalkan semuanya tanpa kompensasi. Dampak kebijakan itu, ia mengatakan, membuat wisatawan Indonesia hanya tinggal di negara-negara tetangga Arab dan Muslim seperti Mesir, Yordania, dan Turki. Sebab, biasanya wisatawan Indonesia yang masuk ke Israel melalui jalur darat, berasal dari negara-negara tersebut. Srouji mengatakan langkah itu juga tetap merugikan pemandu wisata dan pekerja pariwisata lainnya yang telah belajar bahasa Indonesia.
"Saya membimbing peziarah Kristen, beberapa Protestan dan beberapa Katolik, yang juga tertarik pada Yudaisme," kata salah satu pemandu wisata Israel, Annabelle Herziger-Tenzer (34).
Herziger-Tenzer mengatakan, setiap bulan selama sembilan bulan dalam setahun, ia mengkoordinasi tiga kelompok wisatawan Indonesia dengan masing-masing 35 orang. Dia berujar sebagian besar orang-orang dalam kelompok itu selalu membeli bendera Israel dan mengambil foto kebanggaan dengan tentara IDF.
"Saya sangat berharap Israel akan sadar dan membiarkan orang Indonesia masuk. Setiap kali ada kekacauan di Gaza, mereka menghukum pecinta Kristen Israel di Indonesia, dan sekarang mereka melecehkan mereka dengan mencegah masuknya mereka ke Israel," kata dia.
Bulan lalu, Indonesia mengatakan tidak lagi mengeluarkan visa bagi warga Israel dalam kelompok wisata. Kebijakan itu sebagai protes atas tindakan IDF yang menewaskan lebih dari 110 warga Palestina di perbatasan Gaza dalam kerusuhan mingguan, protes dan bentrokan yang diselenggarakan oleh kelompok teror Hamas. Sebagian besar dari mereka yang tewas telah diidentifikasi sebagai anggota organisasi teror.
Indonesia adalah negara berpenduduk mayoritas Muslim, tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel. Namun, keputusan Israel itu dinilai membahayakan industri pariwisata yang biasanya mendapat kunjungan dari 30 ribu peziaran Kristen Indonesia ke negara itu. Dalam satu kali kunjungan, wisatawan Indonesia akan menghabiskan lima malam di negara tersebut.
Larangan itu direncanakan berlaku pada 9 Juni. Namun, keputusan itu diundur menjadi 26 Juni. Kemudian, Kementerian Luar Negeri Israel menetapkan larangan mulai berlaku pada 27 Juni.
Kebijakan itu membuat sekitar 2.200 orang Indonesia yang dijadwalkan mengunjungi negara Yahudi itu dalam beberapa minggu ke depan, kemungkinan tetap bisa melakukan kunjungan wisata.
Menteri Pariwisata Israel Yariv Levin mengatakan keputusan Kementerian Luar Negeri itu salah dan menyerukannya untuk dibatalkan secepatnya. Namun, Kementerian Luar Negeri Israel tetap kukuh pada keputusannya.