Selasa 12 Jun 2018 13:12 WIB

Yahya Staquf: Kontroversi ke Israel Bawa Pesan Toleransi

Tak ada pertemuan dengan politisi Israel dalam agenda Gus Yahya.

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Nur Aini
Yahya Staquf
Foto: Republika/Debbie Sutrisno
Yahya Staquf

REPUBLIKA.CO.ID, TEL AVIV -- Sekjen Nahdlatul Ulama (NU) Yahya Cholil Staquf mengunjungi Israel pekan ini, dan mengundang banyak kecaman. Namun, dia berharap kontroversi tersebut dapat membawa perhatian ke pesan belas kasih antaragama.

Gus Yahya, sapa akrabnya, berada di Israel sebagai tamu Komite Yahudi Amerika, kelompok advokasi AS yang mengadakan konferensi besar di Yerusalem. Awal pekan ini, dia berpidato di konferensi tersebut, muncul bersama seorang rabi dalam diskusinya.

Jadwalnya juga termasuk pertemuan di Hebrew University Israel, dan berbicara dengan pemimpin Yahudi, Kristen, dan Muslim setempat. Tidak ada pertemuan dengan politisi Israel yang tercantum dalam jadwalnya.

Indonesia, negara Muslim terbesar di dunia, tidak memiliki hubungan diplomatik dengan Israel, dan dukungan untuk Palestina sangat kuat. Kehadiran Staquf telah memicu reaksi kemarahan, seperti yang terlihat di media sosial.

Namun dalam sebuah wawancara, Staquf mengatakan dia tetap berkomitmen pada kunjungan tersebut. Anggota Dewan Pertimbangan Presiden itu berharap kontroversi dapat membawa lebih banyak perhatian pada pesan toleransinya.

"Beberapa orang di sini kagum dengan keputusan saya untuk datang, karena mereka pikir itu pasti berbahaya bagi orang ini untuk datang, berpikir bahwa banyak, banyak Muslim harus mengancamnya dengan kematian atau sesuatu," kata Yahya pada Senin (11/6).

Gus Yahya mengatakan konflik Israel-Palestina bukan satu-satunya fokus dari perjalanannya. Sebaliknya, ia melihat kerja sama antar-iman itu sebagai dasar untuk menyelesaikan banyak konflik. Hal itu termasuk di Myanmar, di mana 700 ribu Muslim Rohingya telah melarikan diri dari penganiayaan oleh pasukan keamanan negara itu ke Bangladesh.

Akan tetapi, Gus Yahya tetap sadar akan besarnya konflik Israel-Palestina. "Kami menghadapi masalah peradaban di sini, dan itu terkait dengan agama," katanya. "Sebagai Muslim, kami ingin melakukan bagian kami terkait dengan agama kami."

Dia mengaku telah mengidentifikasi bagian-bagian Islam yang dianggapnya bermasalah, termasuk bagaimana umat Islam berinteraksi dengan non-Muslim. Dia mengatakan perlu ada "wacana baru" untuk mengakui bahwa Muslim dan non-Muslim adalah sama dan harus dapat hidup berdampingan dengan damai. "Unsur-unsur ini bermasalah karena itu tidak kompatibel lagi dengan realitas peradaban kita saat ini," katanya.

Dalam sebuah surat kepada menteri luar negeri Indonesia yang dipublikasikan secara daring, Gus Yahya mengatakan bahwa pemerintah dapat "menolak" tindakannya jika dianggap membahayakan kepentingan negara. "Tetapi jika ada 'manfaat', mari kita mengikutinya menjadi keuntungan nyata."

sumber : AP
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement