REPUBLIKA.CO.ID, PYONGYANG -- Pengamat hubungan internasional, Hikmahanto Juwana menilai Kesepakatan yang ditandatangani Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dalam pertemuan di Singapura, Selasa (12/6), harus ditindaklanjuti secara teknis dan komprehensif.
"Presiden Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara telah membuat Joint Statement yang terdiri dari empat poin dalam pertemuannya di Singapura. Sebagaimana telah diduga statement tersebut masih bersifat umum dan kedua pemimpin sepakat untuk menindaklanjuti secara teknis," ujar guru besar Hukum Internasional Universitas Indonesia itu, di Jakarta, Rabu.
Ia mengatakan masyarakat internasional perlu bersyukur pertemuan Trump-Kim berjalan positif dan memberi suatu harapan bagi perdamaian abadi di Semenanjung Korea. Hanya saja dunia tidak seharusnya larut dalam kegembiraan. Masih ada sejumlah langkah yang harus dilakukan agar denuklirisasi di Korut terwujud dan bukannya tidak mungkin berbagai rintangan harus dihadapi.
Rintangan pertama, kata Hikmahanto, adalah berkaitan dengan perilaku Donald Trump. Ini mengingat setelah pertemuan, Trump merasa dirinya keluar sebagai pemenang perang.
Perilaku seperti ini akan memprovokasi Kim Jong-un, bahkan rakyat Korut, untuk bereaksi negatif dan berdampak pada perundingan teknis. Kedua, lanjut dia, dunia perlu memperhatikan situasi politik dalam negeri di Korut.
"Bila ada loyalis orang tua dan kakek Kim Jong-un yang kecewa dengan hasil pertemuan, menjadi pertanyaan apakah mereka tidak akan melakukan kudeta atas kepemimpinan Kim. Bila kudeta terjadi lagi-lagi ini akan berdampak pada pertemuan teknis," kata dia pula.
Selanjutnya yang menjadi tantangan adalah apa rumusan-rumusan teknis sebagai tindak lanjut dari kesepakatan Trump dan Kim. Semisal program denuklirisasi Korut, apakah akan disertai dengan penarikan mundur tentara AS di Korea Selatan, bahkan Jepang?
Baca juga, Bertemu Trump, Kim Jong-un: Senang Bertemu Tuan Presiden.
Demikian pula apakah kelanjutan Dinasti Kim akan dijamin keberlanjutannya di Korut seiring dengan lebih sejahtera rakyat Korut, terwujud demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM. "Dalam kaitan ini, apakah AS dapat menahan diri untuk tidak terlibat dalam penjatuhan Rezim Kim," kata dia.
Kekhawatiran ini menilik dari pengalaman sejumlah negara di Timur Tengah dengan AS berada di belakang pemberontak yang ingin menjatuhkan pemimpin yang otoriter, mulai Saddam Hussein hingga Muamar Qadafi. "Tentu masih banyak lagi isu-isu yang menjadi tantangan bagi tim teknis untuk dapat
Sementara itu, Pemerintah Korea Utara (Korut) memberikan pernyataan resmi pascapertemuan bersejarah antara pemimpin negara itu Kim Jong-un dan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump. Dari pernyataan tersebut, sikap optimistis terhadap perdamaian, stabilitas, serta denuklirisasi di kawasan Semenanjung Korea diungkapkan.
"Korut dan AS memiliki pengakuan bersama untuk mematuhi prinsip tindakan, selangkah demi selangkah dalam mencapai perdamaian, stabilitas, dan denuklirisasi Semenanjung Korea," ujar pernyataan kantor berita resmi Korut KCNA, Rabu (13/6).
Dari pernyataan tersebut, Kim Jong-un juga mengatakan bahwa AS telah membangun langkah-langkah nyata untuk mewujudkan kepercayaan. Namun, tak ada rincian khusus mengenai apa saja langkah tersebut.
Kim Jong-un menekankan, provokasi militer antara Korut dan AS harus segera dihentikan. Kedua negara perlu berkomitmen untuk menahan diri dari pertentangan.
"Korut dan AS juga harus mengambil langkah hukum dan kelembagaan untuk menjamin komitmen tersebut," ujar pernyataan Pemerintah Korut.
KCNA melaporkan bahwa Kim Jong-un telah mengundang Trump mengunjungi Ibu Kota Pyongyang. Demikian dengan Trump yang membalas undangan tersebut agar Kim Jong-un mengunjungi AS.