Kamis 14 Jun 2018 00:10 WIB

Pertemuan Trump-Kim, Kremlin: Putin Benar

Seruan Putin dinilai telah membantu meredakan ketegangan.

Vladimir Putin
Foto: EPA/Sergei Chirikov
Vladimir Putin

REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Pemerintah Rusia pada Rabu (13/6) mengatakan, pertemuan puncak Presiden Amerika Serikat Donald Trump dengan pemimpin Korea Utara Kim Jong-un menunjukkan bahwa Presiden Rusia Vladimir Putin benar. Putin telah menyerukan pembicaraan langsung di antara kedua negara itu.

Seruan tersebut disampaikan Putin untuk meredakan ketegangan kawasan semenanjung Korea. Juru bicara Kremlin Dmitry Peskov mengatakan kepada wartawan, pertemuan Kim dengan Trump membantu meredakan ketegangan di kawasan Semenanjung Korea.

Namun, dia memperingatkan bahwa persoalan terkait pengembangan peluru kendali dan senjata nuklir Korea Utara tidak bisa diselesaikan oleh pertemuan satu jam.

Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia Hikmahanto Juwana mengatakan, kesepakatan yang ditandatangani Presiden AS Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara Kim Jong-un dalam pertemuan di Singapura, Selasa (12/6), harus ditindaklanjuti secara teknis dan komprehensif.

"Presiden Donald Trump dan Pemimpin Korea Utara telah membuat Joint Statement yang terdiri dari empat poin dalam pertemuannya di Singapura. Sebagaimana telah diduga statement tersebut masih bersifat umum dan kedua pemimpin sepakat untuk menindaklanjuti secara teknis," ujar  di Jakarta, Rabu.

Ia mengatakan, masyarakat internasional perlu bersyukur pertemuan Trump-Kim berjalan positif dan memberi suatu harapan bagi perdamaian abadi di Semenanjung Korea.

Hanya saja dunia tidak seharusnya larut dalam kegembiraan. Masih ada sejumlah langkah yang harus dilakukan agar denuklirisasi di Korut terwujud. "Bukannya tidak mungkin berbagai rintangan harus dihadapi," katanya.

Rintangan pertama adalah berkaitan dengan perilaku Donald Trump. Ini mengingat setelah pertemuan, Trump merasa dirinya keluar sebagai pemenang perang.
Perilaku seperti ini akan memprovokasi Kim Jong-un, bahkan rakyat Korut, untuk bereaksi negatif dan berdampak pada perundingan teknis.

Kedua, lanjut dia, dunia perlu memperhatikan situasi politik dalam negeri di Korut.
"Bila ada loyalis orang tua dan kakek Kim Jong-un yang kecewa dengan hasil pertemuan, menjadi pertanyaan apakah mereka tidak akan melakukan kudeta atas kepemimpinan Kim Jong-un. Bila kudeta terjadi lagi-lagi ini akan berdampak pada pertemuan teknis," kata dia.

Baca juga,  Bertemu Trump, Kim Jong-un: Senang Bertemu Tuan Presiden.

Selanjutnya yang menjadi tantangan adalah apa rumusan-rumusan teknis sebagai tindak lanjut dari kesepakatan Trump dan Kim. Semisal program denuklirisasi Korut apakah akan disertai dengan penarikan mundur tentara AS di Korea Selatan, bahkan Jepang?

Demikian pula apakah kelanjutan Dinasti Kim akan dijamin keberlanjutannya di Korut seiring dengan lebih sejahtera rakyat Korut, terwujud demokratisasi dan penghormatan terhadap HAM. "Dalam kaitan ini, apakah AS dapat menahan diri untuk tidak terlibat dalam penjatuhan Rezim Kim," kata dia.

Kekhawatiran ini menilik dari pengalaman sejumlah negara di Timur Tengah dengan AS berada di belakang pemberontak yang ingin menjatuhkan pemimpin yang otoriter, mulai Saddam Hussein hingga Muamar Qadafi. "Tentu masih banyak lagi isu-isu yang menjadi tantangan bagi tim teknis untuk dapat dirumuskan," kata Hikmahanto.

Intinya, ia menegaskan, tim teknis akan menghadapi situasi  pada isu teknis."The Devil is on The Details."

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement