REPUBLIKA.CO.ID, KOTA VATIKAN -- Paus Fansiskus mengkritik kebijakan pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump yang memisahkan para anggota keluarga pendatang di daerah perbatasan Meksiko. Paus mengaku mendukung pernyataan terbaru dari keuskupan Katolik AS yang menyebut pemisahan anak dari orang tuanya sebagai tindakan "Yang bertentangan dengan nilai-nilai Katolik" dan "Tidak bermoral."
"(Persoalan imigran) memang tidak mudah, tapi populisme bukan merupakan solusi," kata Fransiskus pada Ahad (17/6) malam lalu kepada Reuters.
Dalam wawancara yang membahas berbagai macam hal itu, dia mengaku optimistis terhadap perundingan terkait pengangkatan uskup di Cina, serta akan menerima mundurnya sejumlah uskup di Cile akibat skandal pelecehan seksual. Paus juga membantah sejumlah kritik dari kalangan konservatif yang menganggap ajaran Fransiskus selama lima tahun di Vatikan terlalu liberal.
Paus bahkan ingin menunjuk lebih banyak perempuan di posisi tinggi dalam pemerintahan Vatikan. Salah satu poin utama dalam wawancara itu adalah kritik Paus terhadap kebijakan non-toleransi dari Trump terkait imigrasi.
Dalam kebijakan itu, otoritas AS akan memburu semua pendatang ilegal, kemudian memenjarakan orang dewasa sementara anak mereka dikirim ke tempat penampungan milik pemerintah. Kebijakan keras Trump menjadi persoalan hangat di AS dan dikecam dari luar negeri saat sejumlah video anak-anak muda ditahan di ruangan berlantai beton dan sebuah rekaman suara tangisan anak kecil.
Keuskupan Katolik mengecam kebijakan Trump dan Paus mendukungnya. "Saya berada di pihak keuskupan," kata Paus.
Trump sendiri masih berkeras atas kebijakannya, bahkan justru menyalahkan partai Demokrat atas pemisahan keluarga yang terjadi. "Demokrat adalah sumber masalah. Mereka tidak peduli dengan angka kriminalitas dan menginginkan lebih banyak pendatang ilegal," kata Trump dalam akun Twitter-nya pada Selasa (19/6).
Kebijakan keras di AS nampak senada dengan sentimen politik yang terjadi di Eropa terkait kedatangan para imigran dan pencari suaka, yang sebagian besar di antara mereka berupaya lari dari konflik dan kemiskinan di Timur Tengah dan Afrika. Paus mengatakan, bahwa kelompok populis itu "Menciptakan kegilaan" terkait masalah imigrasi, meski mereka tengah menghadapi persoalan demografi yang menua dan membutuhkan lebih banyak pendatang.
Tanpa pendatang, Eropa "aAkan menjadi benua kosong," kata Paus.
Sejak menjadi Paus pada 2013, Fransiskus menjadi tokoh yang mempromosikan nilai-nilai liberal dalam pengajaran Katolik pada saat sebagian besar peradaban Barat beralih menuju pada sentimen nasionalisme sempit. Akibatnya, dia mendapat tentangan dari kubu konservatif, terutama pada interpretasi Paus terhadap seksualitas sesama jenis.