REPUBLIKA.CO.ID, ANKARA -- Turki menggelar pemilihan presiden dan parlemen pada Ahad (24/6). Ini merupakan pemilu ganda pertama yang diselenggarakan Turki sepanjang sejarah negara tersebut.
Tempat pemungutan suara (TPS) mulai dibuka pada pukul 08:00 waktu setempat. Lebih dari 56 juta pemilih memberikan suaranya di lebih dari 180 ribu TPS.
Terdapat dua kandidat utama yang bersaing dalam pemilihan presiden kali ini, yakni petahana Recep Tayyip Erdogan dari Justice and Development Party (AK Party) dan Muharrem Ince dari Republican People's Party (CHP). Erdogan, yang berambisi mempertahankan posisinya, berkoalisi dengan partai sayap kanan National Movement Party (MHP).
AK Party dan CHP membentuk aliansi bernama People'a Alliance. Erdogan menjadi calon presiden tunggal yang sepakat diusung aliansi tersebut.
Sedangkan CHP membentuk aliansi bernama National Alliance. Dalam aliansi itu bergabung partai sayap kanan Good Party (IYI), partai ultrakonservatif Felicity Party (SP), dan Democrat Party (DP).
Selain dua aliansi tersebut, Kurdish People's Democratic Party (HDP) juga turut meramaikan pemilu Turki kali ini. HDP adalah satu-satunya partai yang tak membentuk aliansi. HDP memiliki calon presiden, yakni Selahattin Demritas.
Demritas adalah seorang politikus Kurdi populer. Namun sejak 2016 ia dijebloskan ke penjara karena dituding terlibat kegiatan teror.
Dengan demikian persaingan memperebutkan kursi presiden menyisikan dua kandidat yakni Erdogan dan Ince. Pada kampanye terakhirnya pada Sabtu (23/6), Erdogan menyerang Ince dengan menyebutnya tak memiliki keahlian atau keterampilan dalam memimpin.
"Itu adalah satu hal untuk menjadi guru fisika, dan ini adalah hal lain untuk menjalankan sebuah negara. Menjadi presiden membutuhkan pengalaman," ujar Erdogan, seperti dikutip laman BBC. Pernyataannya tersebut menyinggung Ince yang memang merupakan mantan guru.
Dalam pernyataannya itu Erdogan pun hendak menegaskan bahwa dirinya merupakan tokoh berpengalaman dalam memimpin. Sebab dirinya pernah menjabat sebagai perdana menteri selama 11 tahun dan terpilih sebagai presiden pada 2014.
Sedangkan Ince dalam kampanyenya mengkritik Erdogan yang dianggap telah menjalankan pemerintahan otoriter. "Bila Erdogan menang, telepon Anda akan terus didengarkan. Ketakutan akan terus berkuasa," katanya.
Ia pun menjanjikan sebuah sistem peradilan yang adil dan tanpa pandang bulu bagi seluruh warga Turki. "Jika saya menang, pengadilan akan independen," ujar Ince.
Pandangan rakyat terhadap dua kandidat itu pun beragam. Ramzan Unal, misalnya, seorang pelayan berusia 39 tahun dari distrik Kadikoy di Istanbul menilai Erdogan telah berhasil membuat Turki menjadi negara yang lebih baik.
"Pemerintah mengirimkan proyek-proyek terbesar dalam sejarah Turki, dari rumah sakit modern hingga bandara dan universitas. Negara ini tidak memiliki kereta bawah tanah. Sekarang kereta tersebut beroperasi di beberapa kota di negara kita tercinta. Telah ada investasi besar," katanya, dikutip laman Aljazirah.
Berbeda dengan Unal, Veysel Emre Yersel (37 tahun), seorang warga yang juga berasal dari distrik Kadikoy memiliki pandangan lain. Sapendapat dengan Ince, ia menilai pemerintahan Erdogan saat ini tengah menuju ke arah otoriter. "Saya ingin bangun untuk Turki yang lebih baik dengan pemerintahan yang berbeda," ujarnya.
"Harus ada keragaman dalam demokrasi, di mana suara semua orang didengar. Dalam iklim saat ini tidak ada keragaman, hanya ada satu suara," ujar Yersel menambahkan.
Pada April tahun lalu, Erdogan menggagas sebuah referendum untuk mengubah konstitusi dan sistem pemerintahan Turki yang semula parlementer menjadi presidensil. Lebih dari 50 persen warga Turki memilih "Ya" untuk perubahan konstitusi.
Dengan sistem baru tersebut, kantor kepresidenan memiliki kekuatan untuk menunjuk wakil presiden, menteri, pejabat tinggi, dan hakim senior. Presiden pun memiliki wewenang untuk membubarkan parlemen, mengeluarkan keputusan eksekutif, dan memberlakukan keadaan darurat.
Tempat-tempat pemungutan suara tutup pukul 17.00 waktu setempat. Hasilnya bagus, kata Presiden Erdogan. Seperti kebiasaan di Turki, tak ada hasil-hasil hitungan cepat dan hasil-hasil pertama akan diketahui Ahad malam.
Sebelumnya kerumunan pendukung Erdogan meneriakkan namanya ketika ia keluar dari sebuah sekolah setelah memberikan suara di Istanbul, kota terbesar di Turki, menyalami orang-orang di tengah-tengah pengawalan ketat.
"Turki mengadakan revolusi demokratis," kata dia kepada wartawan di tempat pemungutan suara itu. "Dengan sistem presidensial, Turki serius menaikkan standar, menaikkan di atas level dari peradaban kontemporer."