Selasa 26 Jun 2018 20:02 WIB

Sanksi AS Mulai Berlaku, Rouhani tak Gentar

Nilai mata uang Iran mengalami penurunan tajam

Rep: Crystal Liestia Purnama/ Red: Nidia Zuraya
Presiden Iran Hassan Rouhani
Foto: Iranian Presidency Office via AP
Presiden Iran Hassan Rouhani

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Para pengusaha Iran telah berkumpul di depan parlemen untuk memprotes penurunan tajam nilai mata uang nasional. Pada Selasa (26/6) pemerintah masih optimistis bahwa pihaknya akan dapat menangani tekanan ekonomi dari sanksi baru Amerika Serikat (AS).

Rouhani mengatakan bahwa pendapatan pemerintah belum terpengaruh dalam beberapa pekan terakhir. Menurutnya jatuhnya mata uang riyal Iran karena propaganda media asing.

“Bahkan dalam kasus terburuk, saya berjanji bahwa kebutuhan dasar orang Iran akan disediakan. Kami punya cukup gula, gandum, dan minyak goreng. Kami memiliki cukup mata uang asing untuk disuntikkan ke pasar,” kata Rouhani dalam pidato yang disiarkan langsung di televisi pemerintah.

Kantor berita Fars melaporkan bahwa ini adalah hari kedua bagian dari Grand Bazaar Teheran mogok. Para pengunjuk rasa meneriakkan slogan-slogan menentang pemerintah di jalan-jalan sekitarnya. Namun Reuters tidak segera bisa mengkonfirmasi laporan itu.

Pada Senin, polisi berpatroli di bazaar menyusul bentrokan dengan para pemrotes yang marah karena turunnya nilai rial. Hal ini mengganggu bisnis karena harus menaikkan biaya impor.

Washington akan mulai menerapkan kembali sanksi ekonomi di Teheran dalam beberapa bulan mendatang. Itu terjadi setelah Presiden AS Donald Trump menghentikan kesepakatan antara kekuatan utama dunia dan Iran di mana sanksi dicabut sebagai imbalan atas pembatasan program nuklirnya.

Ini mungkin akan memangkas nilai mata uang secara signifikan karena menurunnya pendapatan dari ekspor minyak. Kondisi ini memiliki prospek yang memicu kepanikan larinya tabungan Iran dari rial ke dolar.

Dana Moneter Internasional memperkirakan pada bulan Maret bahwa pemerintah memiliki aset 112 miliar dolar AS dan cadangan asing. Pihaknya menyebutkan bahwa Iran sedang mengalami surplus neraca berjalan. Angka-angka ini menunjukkan Iran mungkin menahan sanksi tanpa krisis pembayaran eksternal.

Sementara itu, kepala pengadilan Iran memperingatkan pada Selasa bahwa "penyabot ekonomi", yang dia katakan berada di belakang jatuhnya rial, akan menghadapi hukuman berat. Dikatakan hukuman itu bisa berupa eksekusi atau 20 tahun penjara.

“Musuh sekarang mencoba mengganggu ekonomi kita melalui operasi psikologis. Dalam beberapa hari terakhir ada yang mencoba menutup Bazaar, tetapi rencana mereka digagalkan oleh polisi,” kata Ayatollah Sadeq Larijani seperti dikutip oleh kantor berita Fars.

Jaksa penuntut Teheran Abbas Jafari-Dolatabadi mengatakan beberapa pengunjuk rasa di dekat bazaar ditangkap pada hari Senin (25/6). Mereka tidak akan dibebaskan sebelum diadili di pengadilan.

Pemerintah Iran sedang menerapkan rencana baru untuk mengendalikan kenaikan harga. Beberapa upaya yang dilakukan termasuk melarang impor lebih dari 1.300 produk. Hal ini untuk mempersiapkan ekonominya untuk menolak ancaman sanksi AS.

Rouhani mengatakan sanksi baru AS adalah bagian dari "perang psikologis, ekonomi dan politik." Ia menambahkan bahwa Washington akan membayar harga tinggi untuk tindakannya.

"Penarikan adalah keputusan terburuk yang dia (Trump) bisa buat. Itu mengerikan. Itu merusak reputasi global Amerika,” katanya.

Pada akhir Desember, demonstrasi yang dimulai atas kesulitan ekonomi menyebar ke lebih dari 80 kota-kota kecil dan kota-kota besar Iran. Setidaknya 25 orang tewas dalam kerusuhan berikutnya. Ini merupakan ekspresi ketidakpuasan publik terbesar dalam hampir satu dekade.

Para demonstran awalnya melampiaskan kemarahan mereka atas harga tinggi dan dugaan korupsi. Akan tetapi unjuk rasa itu mengambil dimensi politik yang langka, dengan semakin banyak orang menyerukan kepada Pemimpin Tertinggi Ayatollah Ali Khamenei untuk mundur.


sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement