Rabu 27 Jun 2018 10:13 WIB

MA AS Terapkan Larangan Perjalanan Negara Mayoritas Muslim

Mayoritas hakim konservatif menyetujui, sementara hakim liberal menentangnya.

Rep: Fira Nursya'bani/ Red: Bilal Ramadhan
Larangan masukanya wisatawa Muslim dari Donald Trump memicu protes besar-besaran di seluruh Amerika Serikat
Foto: Independent
Larangan masukanya wisatawa Muslim dari Donald Trump memicu protes besar-besaran di seluruh Amerika Serikat

REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Mahkamah Agung (MA) Amerika Serikat (AS) pada Selasa (26/6) kembali menerapkan larangan perjalanan yang menargetkan beberapa negara berpenduduk mayoritas Muslim. Hakim menyatakan menolak argumen bahwa larangan itu merupakan bentuk diskriminasi agama yang tidak sesuai dengan konstitusi.

Mayoritas hakim konservatif menyetujui kebijakan tersebut, sementara hakim liberal menentangnya. Keputusan dengan perolehan suara 5-4 itu mengakhiri pertarungan sengit di pengadilan mengenai apakah kebijakan tersebut sama dengan kebijakan larangan perjalanan terhadap Muslim.

Sebelumnya, pengadilan yang lebih rendah telah memblokir kebijakan larangan perjalanan ini yang diumumkan pada September lalu, serta dua versi sebelumnya. Pemblokiran ini berada di bawah gugatan hukum yang diajukan Negara Bagian Hawaii dan lainnya.

Presiden AS Donald Trump mengatakan, larangan perjalanan diperlukan untuk melindungi AS dari serangan militan Islam radikal. Keputusan ini dikecam oleh kelompok-kelompok hak sipil dan Partai Demokrat serta para pengunjuk rasa di luar gedung pengadilan.

Mahkamah Agung menyatakan penggugat telah gagal menunjukkan bahwa larangan perjalanan itu melanggar undang-undang imigrasi AS atau US Constitution's First Amendment yang melarang Pemerintah AS untuk memihak satu agama atas agama lain. Para penggugat berpendapat, kebijakan itu dimotivasi oleh permusuhan Trump terhadap Muslim.

Mereka mendesak pengadilan untuk mempertimbangkan komentar-komentar Trump yang meradang terhadap Muslim selama masa kampanye presiden 2016. Trump sebagai kandidat telah menyerukan larangan total bagi Muslim untuk memasuki AS.

Dalam pidatonya di Gedung Putih pada Selasa (26/6), Trump mengatakan, keputusan Mahkamah Agung merupakan kemenangan luar biasa bagi rakyat AS dan konstitusi. "Kami harus tangguh, dan kami harus aman, dan kami harus dilindungi. Minimal, kami harus memastikan kami bisa memeriksa orang-orang yang datang ke sini," kata Trump.

Kebijakan itu akan melarang warga dari Iran, Libya, Somalia, Suriah, dan Yaman untuk memasuki AS. Mahkamah Agung mengizinkan kebijakan ini untuk berlaku secara efektif pada Desember, sementara gugatan hukum masih terus berlanjut.

Chad awalnya berada di dalam daftar negara-negara yang ditargetkan oleh Trump, tetapi kemudian dicabut pada 10 April. Irak dan Sudan juga berada pada versi awal dari daftar larangan tersebut. Sementara itu, Venezuela dan Korea Utara (Korut) masih menjadi target dari kebijakan ini.

"Keputusan hari ini, yang menolak orang-orang yang melarikan diri dari kekerasan dan penganiayaan mengerikan, atau yang mendiskriminasikan orang berdasarkan kebangsaan dan agama mereka, membuat Amerika menjadi tidak seperti biasanya," ujar Senator Bob Menendez dari Partai Demokrat di Komite Hubungan Luar Negeri Senat.

Di pengadilan, hakim agung John Roberts mengatakan, pemerintahan Trump telah mengajukan kebijakan keamanan nasional yang cukup untuk bisa diterapkan. Putusan itu mendukung kebijakan presiden yang luas mengenai siapa saja yang diizinkan masuk ke AS.

Hakim liberal, Sonia Sotomayor, menyatakan perbedaan pendapat dengan Hakim hobert. Ia mengutip keputusan Mahkamah Agung pada 1944 yang menerapkan kebijakan pengasingan terharap orang-orang Jepang-Amerika selama Perang Dunia II. Sotomayor juga membahas berbagai pernyataan keras Trump saat kampanye.

"Dengan mempelajari semua bukti, seorang pengamat yang masuk akal akan menyimpulkan bahwa kebijakan tersebut didorong oleh animo anti-Muslim," ungkap Sotomayor.

Dalam putusannya, Roberts secara resmi menolak membandingkan kasus ini dengan kasus 1944. Ia mengatakan, praktik era perang secara objektif telah melanggar hukum dan di luar lingkup kekuasaan kepresidenan.

Ratusan orang berkumpul di Foley Square di New York pada Selasa (26/6) malam untuk mengecam keputusan Mahkamah Agung. Banyak yang memegang spanduk bertuliskan: "Tidak ada larangan. Tidak ada dinding. Tidak ada penggerebekan di NY untuk semua."

"Putusan ini akan tercatat dalam sejarah sebagai salah satu kegagalan besar Mahkamah Agung," kata Omar Jadwat, seorang pengacara untuk American Civil Liberties Union, yang menggugat kebijakan tersebut.

Larangan perjalanan adalah salah satu kebijakan imigrasi keras garis keras pemerintahan Trump yang telah menjadi bagian sentral dari kepresidenannya dalam pendekatan America First. Trump mengeluarkan versi larangan perjalanan pertamanya hanya sepekan setelah menjabat sebagai presiden, meskipun kebijakan itu dengan cepat dihentikan oleh pengadilan.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement