Ahad 01 Jul 2018 03:51 WIB

Malaysia Pertimbangkan Ubah Undang-Undang Perdagangan Orang

Usul yang dibahas dipusatkan ke perlindungan korban.

Sejumlah tenaga kerja ditahan imigrasi Malaysia. (ilustrasi)
Foto: Antara/Yohanes Kurnia Irawan
Sejumlah tenaga kerja ditahan imigrasi Malaysia. (ilustrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, KUALALUMPUR -- Pemerintah baru Malaysia pada Sabtu (30/6) menyatakan mempertimbangkan perubahan undang-undang perdagangan orang dan penyelundupan pengungsi. Ini disampaikan hanya beberapa hari sesudah Departemen Luar Negeri Amerika Serikat melaporkan kekurangmajuan upaya negara itu melawan perdagangan orang pada tahun lalu.

Kementerian Dalam Negeri Malaysia menyatakan, usul yang dibahas dipusatkan ke perlindungan korban, dengan memberi mereka lebih banyak kebebasan bergerak dan bekerja. Selain itu, pemerintah Malaysia memberlakukan hukuman keras bagi pedagang manusia.

Pada Kamis (28/6), Departemen Luar Negeri Amerika Serikat menyiarkan laporan tahunan Perdagangan Orang (TIP), yang menurunkan peringkat Malaysia ke Daftar Pengamatan Tingkat 2. Ini menunjukkan negara itu patut dicermati khusus, dengan mencatat bahwa negara Asia Tenggara gagal menunjukkan upaya lebih kuat daripada tahun sebelumnya.

Laporan itu menyatakan, upaya perlindungan korban oleh pemerintah sebagian besar tetap tidak memadai. Keterlibatan di antara penegak hukum menghambat beberapa upaya menumpas perdagangan tersebut.

"Pemerintah Malaysia mencatat laporan perdagangan manusia itu dan bertekad penuh memberantas kejahatan perdagangan manusia," kata pernyataan Kementerian Dalam Negeri Malaysia.

Pemerintahan baru, dipimpin Perdana Menteri Mahathir Mohamad, dibentuk pada bulan lalu. Warga Malaysia memilih berubah sesudah hampir sepuluh tahun dipimpin pemerintah Najib Razak, yang terkait skandal.

Malaysia sejak lama dikenal sebagai tujuan korban perdagangan manusia, termasuk pekerja tercatat dan tidak tercatat.

Mereka sangat bergantung pada pekerja asing murah dari Bangladesh, Indonesia, Nepal, dan Filipina. Malaysia memiliki hampir dua juta pekerja rantau terdaftar, tapi jutaan lagi bekerja di negara tersebut tanpa izin.

sumber : Antara/Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement