REPUBLIKA.CO.ID, WINA -- Pemerintah Iran menegaskan kesediaannya untuk tetap patuh pada pakta nuklir yang dicapai pada 2015 lalu. Presiden Iran Hassan Rouhani mengatakan, hal tersebut akan dilakukan asalkan Teheran mendapatkan jaminan akan keuntungan tertentu yang seharusnya mereka terima.
Pembicaraan akan Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA) kembali mencuat usai Presiden Amerika Serikat (AS) memutuskan untuk keluar dari perjanjian tersebut. Rouhani menyebut langkah yang diambil Paman Sam merupakan tindakan yang ilegal.
"Tidak hanya AS, setiap negara yang keluar dari kesepakatan nuklir tidak akan mendapatkan keuntungan apapun," kata Hassan Rouhani dalam sebuah konferensi pers.
Keluarnya AS dari JCPOA membuat Iran kembali terkena sanksi ekonomi internasional. Sanki baru diterapkan AS pada 4 Agustus dengan membidik sektor otomotif serta perdagangan emas dan logam mulia lainnya.
Seperangkat sanksi kedua akan dimulai pada 6 November yang mengincar sektor energi dengan memusatkan pada transaksi minyak dan perbankan. AS berencana untuk menerapkan tekanan ekonomi dan diplomatik secara maksimum kepada Teheran.
Hal tersebut dilakukan guna mendorong Iran dapat menjalin negosiasi dengan lebih baik lagi. AS ingin agar pemerintahan Rouhani tunduk pada 12 tuntutan jika ingin diberikan keringanan sanksi.
Perjanjian JCPOA juga ditandatangani oleh Rusia, Cina, Inggris, Jerman, dan Prancis. Negara-negara tersebut rencananya mengadakan pertemuan di Wina guna membahas langkah-langkah yang diperlukan untuk menyelamatkan kesepakatan nuklir Iran.