REPUBLIKA.CO.ID, ROMA -- Pemimpin Tertinggi Gereja Katolik, Paus Fransiskus kembali menyampaikan komentarnya terkait konflik di Timur Tengah. Paus mengatakan ada tiga hal yang menghambat proses perdamaian di Timur Tengah. Diantaranya yaitu pembangunan tembok, pendudukan ilegal dan fanatisme agama.
Ini disampaikan Paus saat pertemuan puncak para pemimpin Kristen. Mereka membahas cara mempromosikan perdamaian di Timur Tengah.
Paus Francis juga mengulangi pandangannya bahwa "status quo" dari kota Yerusalem harus dihormati. Ia mendukung solusi dua negara terhadap perselisihan Israel-Palestina.
"Gugatan yang dipertahankan tentang tembok dan pajangan kekuasaan tidak akan mengarah pada perdamaian, tetapi hanya keinginan konkret untuk mendengarkan dan terlibat dalam dialog," katanya dalam pidato keduanya hari itu, setelah pertemuan pribadi di antara para pemimpin agama.
Israel mengatakan penghalang pagar di Tepi Barat dibangun sebagai benteng pertahanan terhadap serangan-serangan Palestina. Sementara Palestina mengatakan itu adalah perampasan lahan yang dilakukan oleh Israel.
Pau Francis mengatakan setiap komunitas di Timur Tengah harus dilindungi. Perlindungan bukan hanya untuk mayoritas.
Dia juga mengutuk kelompok ekstremisme agama. Ia mengatakan banyak konflik di wilayah Timur Tengah dipicu oleh bentuk-bentuk fundamentalisme dan fanatisme dengan kedok agama. Ini telah merusak citra Tuhan dan sebuah agama itu sendiri.
Dalam pertemuan ini, Fransiskus berbicara dua kali tentang Yerusalem, kota suci yang statusnya menjadi pusat konflik. Israel mengatakan Yerusalem adalah ibukota negara yang bersatu dan abadi. Sementara Palestina menginginkan Yeusalem Timur sebagai ibukota negara masa depan.
Paus mengatakan "status quo" Yerusalem sebagai kota suci bagi orang Yahudi, Kristen dan Muslim harus dihormati.
Francis sebelumnya telah menyerukan semua pihak untuk menghormati resolusi PBB. Ini disampaikannya ketika Washington mengumumkan pemindahan kedutaannya ke Yerusalem dari Tel Aviv.
Dia juga sempat mengomentari konflik Suriah. Dia mengatakan warga Suriah telah mengalami penderitaan yang mengerikan. Terutama anak-anak, di Suriah. Konflik di Suriah telah menewaskan ratusan ribu orang dan memaksa sekitar 11 juta orang meninggalkan rumah mereka. Termasuk 6 juta yang tinggal di luar negeri sebagai pengungsi.
Francis mengutuk sikap acuh dan diamnya banyak pihak dalam menyikapi kekerasan. Ia secara spesifik menyebutkan industri senjata. "Anda tidak bisa berbicara tentang perdamaian sementara Anda secara diam-diam berlomba untuk mengumpulkan senjata baru," katanya.