REPUBLIKA.CO.ID, NEW YORK -- Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) mengungkapkan data baru dari 52 negara iklim panas. Data menunjukkan, lebih dari 1,1 miliar orang menghadapi risiko signifikan karena kurangnya akses ke pendinginan. Risiko ini termasuk kematian.
Seorang utusan PBB Rachel Kyte mengatakan, jutaan orang meninggal setiap tahun karena kurangnya akses ke pendinginan. Baik dari kerugian makanan, vaksin yang rusak, atau dampak panas yang parah.
Kyte mengatakan, sembilan negara di Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang menghadapi risiko besar adalah Bangladesh, Brasil, Cina, India, Indonesia, Mozambik, Nigeria, Pakistan, dan Sudan.
"Pendinginan untuk semua tidak berarti memasang AC di setiap rumah," ujar Kyte.
Kyte menyebut, upaya mendesak diperlukan untuk memperjelas kebutuhan pendinginan. Ini melibatkan pemerintah dan sektor swasta dan mengembangkan serta menguji kemungkinan solusi baru.
Kyte berbicara di sela-sela acara untuk menilai kemajuan pada enam dari 17 tujuan PBB yang diadopsi oleh para pemimpin dunia pada 2015. Ini untuk memerangi kemiskinan, mempromosikan pembangunan, dan melestarikan lingkungan pada 2030. Salah satu tujuannya adalah akses universal ke energi berkelanjutan.
Kyte, yang juga CEO dari organisasi nirlaba Sustainable Energy for All, menekankan bahwa tanpa memastikan akses ke pendinginan untuk semua orang, tujuan akhir dari akses universal ke energi tidak akan tercapai. Dia menekankan, akses ke pendinginan bukanlah hal mewah. Itu merupakan masalah mendasar dari keadilan.
Menurutnya, saat suhu berada di tingkat tertinggi, ini berarti perbedaan antara hidup dan mati bagi sebagian orang. Ia mengatakan, 1,1 miliar orang tidak memiliki akses ke pendinginan. Sementara 2,3 miliar orang lainnya memiliki jenis risiko yang berbeda dari pendingin yang digunakan.
Mereka mewakili kelas menengah yang hanya mampu membeli pendingin udara dengan harga murah dan kurang efisien. Ini dapat meningkatkan permintaan energi global dan memiliki dampak cuaca yang mendalam.
Ia menyebutkan, tantangan yang harus dihadapi dalam 12 tahun ke depan, yakni 470 juta orang di daerah perdesaan yang miskin tidak memiliki akses ke makanan dan obat-obatan yang aman. Sebanyak 630 juta orang di daerah kumuh perkotaan memiliki sedikit atau tidak ada pendinginan untuk melindungi mereka dari gelombang panas ekstrem.
Di India, Kyte mengatakan, hampir 20 persen produk perawatan kesehatan rusak atau terdegradasi karena sistem pendinginan yang tidak memadai. Ini termasuk vaksin.
Sementara itu, Wakil Sekretaris Jenderal PBB Amina Mohammed mengatakan, telah ada kemajuan dalam mengurangi angka kematian ibu dan anak, menanggulangi perkawinan dini, memperluas akses ke listrik, mengatasi pengangguran global, dan memangkas tingkat pengambilalihan hutan di seluruh dunia.
Namun, Amina mengatakan, di area lain PBB bergerak terlalu lambat atau kehilangan momentum. "Untuk pertama kalinya dalam satu dekade, jumlah orang yang kurang gizi telah meningkat, dari 777 juta orang pada 2015 menjadi 815 juta pada 2016, secara mendasar merusak komitmen kami untuk tidak meninggalkan siapa pun di belakang," katanya.
Ia menerangkan, anak-anak muda tiga kali berisiko menganggur daripada orang dewasa. Sebagian besar kaum miskin dunia diproyeksikan untuk hidup di lingkungan perkotaan pada 2035, dan sanitasi dasar tetap tidak tersedia.
“Kami melihat penurunan yang mengkhawatirkan dalam keanekaragaman hayati, naiknya permukaan laut, erosi pantai, kondisi cuaca ekstrem, dan meningkatnya konsentrasi gas rumah kaca yang menyebabkan pemanasan global," katanya.
Adapun akses ke energi, termasuk energi terbarukan, tidak sesuai target PBB. "Kami juga perlu menggandakan upaya kami dalam efisiensi energi. Sebanyak 250 juta lebih orang di Afrika tidak memiliki akses ke bahan bakar bersih untuk memasak dibandingkan dengan 2015," ujarnya menambahkan.