Selasa 24 Jul 2018 11:51 WIB

PBB Kritik RUU Negara Bangsa Yahudi

RUU tersebut berpotensi memantik ketegangan di kawasan.

Komunitas warga Yahudi (ilutrasi)
Foto: VOA
Komunitas warga Yahudi (ilutrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Komisaris Tinggi PBB untuk Hak Asasi Manusia (HAM) Zeid bin Raad al-Hussein mengkritik disetujuinya rancangan undang-undang (RUU) Negara Bangsa Yahudi atau Jewish Nation State oleh parlemen Israel (Knesset) pekan lalu. Ia menilai, RUU itu berpotensi memicu ketegangan.

"RUU (negara bangsa Yahudi) jangkar diskriminasi yang melekat terhadap komunitas non-Yahudi, terutama warga Arab Israel dan Yerusalem Timur," kata Zeid pada Senin (23/7).

Ia memperingatkan, RUU tersebut sangat berpotensi memantik ketegangan. Sebab bila nanti UU diterapkan, Israel akan melakukan segregasi antara warga Yahudi dengan komunitas non-Yahudi, termasuk di Yerusalem yang telah diklaim sebagai ibu kotanya.

Hal itu tentu akan menyulut pergolakan, terutama dari warga Palestina. Sebab masyarakat Palestina menghendaki Yerusalem Timur menjadi ibu kota masa depan mereka.

RUU Jewish Nation State atau Negara Bangsa Yahudi diloloskan Knesset pada Kamis (19/7).  Melalui RUU tersebut, Israel ingin memproklamirkan diri sebagai negara atau tanah air bangsa Yahudi.  Dalam RUU, Israel pun mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kotanya. Selain itu, RUU tersebut turut mengatur tentang pencabut status bahasa Arab sebagai bahasa resmi. Dengan demikian hanya terdapat bahasa Ibrani dan bahasa resmi negara.

Baca juga, Turki Kecam UU Negara Bangsa Yahudi Israel.

UU tersebut diyakini akan mendorong Israel untuk terus memperluas proyek permukiman Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan Palestina walaupun telah dinyatakan ilegal di bawah hukum internasional.

Di sisi lain, UU itu juga dikhawatirkan akan semakin memarginalkan masyarakat Palestina berkewarganegaraan Israel yang mencapai 1,8 juta orang atau sekitar 20 persen dari total populasi masyarakat Israel.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengecam undang-undang tersebut. Pernyataan sikap Pemerintah Indonesia itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi seusai melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu Malaysia Saifuddin Abdullah di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI, di Jakarta, Senin (23/7).

"Saya ingin membahas tentang pernyataan mengenai Jewish Statement Law pada tanggal 19 Juli 2018 oleh parlemen Israel. Disahkannya Undang-undang (Tanah Yahudi) tersebut telah menafikan hak-hak warga Palestina di Israel," kata Menlu Retno.

Ada istilah "negara bangsa Yahudi" dalam Undang-Undang Tanah Yahudi yang disahkan oleh Parlemen Israel pada 19 Juli 2018. Undang-undang itu menganggap tanah Israel sebagai tanah air historis dari orang-orang Yahudi dan hak untuk melaksanakan penentuan nasib sendiri nasional di negara Israel adalah unik untuk orang-orang Yahudi.

Undang-undang itu juga menyatakan, bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi dan menurunkan peringkat bahasa Arab hanya menjadi "status khusus".

sumber : Antara
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement