Rabu 25 Jul 2018 11:38 WIB

UU Negara Bangsa Yahudi, Amnesty: Palestina Warga Kelas Dua

UU tersebut mencabut status bahasa Arab sebagai bahasa resmi.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Teguh Firmansyah
Komunitas warga Yahudi (ilutrasi)
Foto: VOA
Komunitas warga Yahudi (ilutrasi)

REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Organisasi hak asasi manusia (HAM) Amnesty International mengecam pengesahan Undang-Undang Negara Bangsa Yahudi oleh parlemen Israel (Knesset). Amnesty menilai UU itu berisiko mengasingkan agama dan etnis minoritas di sana.

"Dengan meloloskan UU negara-bangsa (Yahudi), Israel telah membudaya dan memperburuk 70 tahun ketidaksetaraan serta diskriminasi terhada non-Yahudi dalam sebuah UU dengan status konstitusional," kata Amnesty International melalui akun Twitter-nya, dikutip laman Anadolu Agency pada Selasa (24/7).

"Warga Palestina (20 persen dari populasi Israel) sekarang resmi menjadi warga negara kelas dua. Israel harus menegakkan HAM untuk semua!" kata Amnesty menambahkan.

Saat ini Amnesty juga sedang melakukan pengkajian dampak UU Negara Bangsa Yahudi dari perspektif hukum humaniter internasional. Hal ini penting guna menghadirkan cara pandang baru terhadap UU tersebut.

UU Jewish Nation State atau Negara Bangsa Yahudi diloloskan Knesset pada Kamis (19/7).  Dengan diloloskannya UU tersebut, Israel memproklamirkan diri sebagai negara atau tanah air bangsa Yahudi.

UU itu mengklaim seluruh Yerusalem sebagai ibu kota Israel. Selain itu, UU tersebut turut mencabut status bahasa Arab sebagai bahasa resmi. Dengan demikian hanya terdapat bahasa Ibrani dan bahasa resmi negara.

Baca juga, Turki Kecam UU Negara Bangsa Yahudi Israel.

UU tersebut diyakini akan mendorong Israel untuk terus memperluas proyek permukiman Yahudi di wilayah-wilayah pendudukan Palestina walaupun telah dinyatakan ilegal di bawah hukum internasional.

Di sisi lain, UU itu juga dikhawatirkan akan semakin memarginalkan masyarakat Palestina berkewarganegaraan Israel yang mencapai 1,8 juta orang atau sekitar 20 persen dari total populasi masyarakat Israel.

Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Luar Negeri mengecam Undang-Undang Tanah Yahudi yang disahkan oleh Parlemen Israel pada 19 Juli 2018. Pernyataan sikap Pemerintah Indonesia itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri RI Retno Marsudi seusai melakukan pertemuan bilateral dengan Menlu Malaysia Saifuddin Abdullah di Gedung Pancasila, Kementerian Luar Negeri RI, di Jakarta, Senin (23/7).

 

"Saya ingin membahas tentang pernyataan mengenai Jewish Statement Law pada tanggal 19 Juli 2018 oleh parlemen Israel. Disahkannya Undang-undang (Tanah Yahudi) tersebut telah menafikan hak-hak warga Palestina di Israel," kata Menlu Retno.

Ada istilah "negara bangsa Yahudi" dalam Undang-Undang Tanah Yahudi yang disahkan oleh Parlemen Israel pada 19 Juli 2018. Undang-undang itu menganggap tanah Israel sebagai tanah air historis dari orang-orang Yahudi dan hak untuk melaksanakan penentuan nasib sendiri nasional di negara Israel adalah unik untuk orang-orang Yahudi.

Undang-undang itu juga menyatakan, bahasa Ibrani sebagai bahasa resmi dan menurunkan peringkat bahasa Arab hanya menjadi "status khusus".

Baca juga,  UU Negara Bangsa Yahudi Ancam Peluang Perdamaian Timteng.

Di bawah undang-undang tersebut, Israel memandang perkembangan permukiman Yahudi sebagai nilai nasional dan akan bertindak untuk mendorong dan mempromosikan pembentukan dan konsolidasi.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement