REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Senator Lindsey Graham dari Partai Republik dan Senator Bob Menendez dari Partai Demokrat sedang mempersiapkan undang-undang bipartisan guna memperkuat sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap Rusia. Sanksi akan menyasar sektor energi dan keuangan Rusia.
"Kami berkomitmen penuh untuk memastikan Kongres mempertahankan peran aktif dalam menghadapi agresi Rusia dan memastikan Cabang Eksekutif mengambil langkah yang diperlukan untuk melindungi AS dan sekutu kami," kata Graham dan Menendez dalam sebuah pernyataan bersama, dikutip laman Anadolu Agency pada Rabu (25/7).
Menurut mereka, Presiden Rusia Vladimir Putin memiliki niat yang jelas untuk menentang kekuasaan, pengaruh, dan kepentingan keamanan AS di dalam dan luar negeri. "AS harus membuatnya sangat jelas bahwa kita akan membela negara kita dan tidak goyah dalam penolakan kita atas usahanya untuk mengikis demokrasi Barat sebagai keharusan strategis untuk masa depan Rusia," kata Graham dan Menendez.
Belum diketahui kapan Graham dan Menendez akan mengajukan undang-undang bipartisan tersebut. Namun upaya ini diperkirakan merupakan bentuk kekecewaan mereka atas kegagapan Presiden AS Donald Trump dalam menyampaikan fokus atau keprihatinan AS dalam sejumlah isu, terutama terkait dugaan intervensi Rusia dalam pilpres AS tahun 2016, saat bertemu Putin di Helsinki, Finlandia, pada 16 Juli lalu.
Pertemuan Trump dengan Putin di Helsinki merupakan pertemuan bilateral perdana bagi keduanya. Putin mengatakan pertemuannya dengan Trump berjalan sukses. Walaupun dalam beberapa aspek hubungan Rusia dan AS lebih buruk daripada saat Perang Dingin, tapi Putin berpendapat pertemuannya dengan Trump memungkinkan kedua negara memulai jalur menuju perubahan positif.
Berbeda dengan Putin, seusai pertemuan di Helsinki, Trump justru dihujani kritik oleh sejumlah politisi AS. Hal itu karena Trump tak membahas isu penting yang perlu mendapat klarifikasi dari Putin, seperti dugaan intervensi Rusia dalam pilpres AS tahun 2016.
Trump justru mengatakan tidak alasan bagi Rusia untuk mencampuri pilpres AS. Pernyataannya itu dinilai tidak mendukung hasil penilaian intelijen AS. Ia pun segera meralat pernyataannya. Ia mengklaim, ketika bertemu Putin, ia sebenarnya bermaksud mengatakan bahwa tidak ada alasan bagi Rusia untuk tidak mengintervensi pilpres AS.