REPUBLIKA.CO.ID, PHNOM PENH -- Pemungutan suara di Kamboja dibuka pada Ahad (29/7). Pemungutan suara dilakukan di tengah-tengah kritik terhadap tindakan keras atas pembangkang oleh Perdana Menteri Hun Sen, yang diperkirakan menang setelah hampir 33 tahun berkuasa.
Pemilihan umum tersebut adalah yang keenam sejak 1993 ketika Kamboja keluar dari perang beberapa dasawarsa. Penentang mengatakan pemilihan umum itu menandai penipisan demokrasi di negara Asia Tenggara tersebut menyusul tekanan oleh Partai Rakyat Kamboja (CPP), yang berkuasa, dan pembubaran oposisi Partai Penyelamat Bangsa Kamboja (CNRP) pada tahun lalu.
Hubungan dengan Barat, khususnya Amerika Serikat, tegang, menyebabkan Kamboja menjalin hubungan erat dengan Cina. Saat ini, Cina merupakan pemodal terbesar di Kamboja.
Petugas menjaga tempat-tempat pemungutan suara di Phnom Penh tempat 12 kursi di parlemen diperebutkan dalam pemilihan. Kelompok hak asasi manusia telah mengecam pemilihan itu dan menyebutnya 'palsu' karena ketiadaan oposisi yang kredibel dan kampanye intimidasi oleh Hun Sen dan para sekutunya menjelang pemungutan suara.
Di pusat kota dekat tepi sungai, sejumlah orang yang memiliki hak suara membentuk barisan Ahad pagi di luar tempat-tempat pemungutan suara.
Phnompenh memiliki lebih 2.000 tempat pemungutan suara. Tempat pemungutan di antaranya didirikan di sekolah-sekolah, kuil-kuil dan tenda-tenda yang didirikan sementara.
Hun Sen dan sekutunya melancarkan tindakan keras atas media independen, masyarakat madani dan kelompok-kelompok oposisi. Partai CNRP, yang beroposisi, menyeru pemilih muda dan yang menginginkan perubahan, kalah tipis dalam pemilihan umum sebelumnya, 2013.