REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Badan Migrasi PBB (IOM) mengatakan ribuan pengungsi Rohingya di Bangladesh berisiko menjadi korban perdagangan manusia. IOM menyerukan pendekatan multiaktor untuk mencegah terjadinya hal tersebut.
"Prospek yang mengerikan bahwa ribuan orang yang terkena dampak krisis Rohingya akan berakhir di tangan pedagang (manusia) adalah risiko yang tidak boleh diremehkan," kata Manuel Marques Pereira, koordinator darurat IOM di Cox's Bazar, Bangladesh, dikutip laman resmi IOM pada Selasa (31/7).
Pereira mengatakan pihaknya mengapresiasi pemerintah, penegak hukum, militer, dan lembaga terkait lainnya di Bangladesh yang telah berupaya mencegah terjadinya praktik perdagangan manusia yang menargetkan pengungsi Rohingya. Menurutnya, baik IOM maupun lembaga Bangladesh harus menunjukkan komitmen untuk bekerja sama guna mengakhiri bencana tersebut.
"Tapi kami juga membutuhkan dukungan komunitas global untuk memastikan bahwa kami memiliki dana yang diperlukan guna membantu mencegah orang-orang (Rohingya) menjadi korban kejahatan yang mengerikan ini," kata Pereira.
Kepala perlindungan IOM di Cox's Bazar Dina Parmer mengatakan telah banyak pedagang manusia yang mengincar pengungsi Rohingya sebagai korbannya. "Meskipun tidak mungkin memberikan angka pasti karena sifat rahasia kejahatan ini, melalui kerja kami dengan masyarakat dan pihak berwenang, kami memiliki bukti anekdotal bahwa ribuan orang berisiko dari semua bentuk perdagangan," katanya.
Parmer pun menegaskan kembali tentang pentinya keterlibatan komunitas global guna mencegah praktik perdagangan manusia. Sebab, kejahatan terorganisasi semacam itu membutuhkan banyak tangan untuk menanganinya.
"Perdagangan manusia adalah bentuk kekerasan yang tak dapat ditoleransi, sehingga seluruh masyarakat harus bekerja untuk mengakhirinya. IOM di Cox's Bazar bertekad melakukan segala yang dapat kami lakukan untuk melindungi orang-orang (Rohingya) dari para pedagang (manusia)," ucap Parmer.
IOM adalah lembaga utama yang mengoordinasi perjuangan melawan praktik perdagangan manusia di Cox's Bazar. Program itu dirilis pada September 2017, tepatnya sebulan setelah gelombang pengungsi Rohingya dari negara bagian Rakhine, Myanmar, mulai memasuki Bangladesh.
Lebih dari setengah juta warga Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi di negara bagian Rakhine pada Agustus 2017. Operasi itu sebenarnya digelar dalam rangka memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Namun dalam pelaksanaannya pasukan atau para tentara Myanmar turut menyerang dan menghabisi warga sipil Rohingya di sana.
PBB telah menyatakan bahwa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis. PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia.
Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi. Namun pelaksanaan kesepakatan tersebut belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.
Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.
Baca: India Sahkan UU Hukuman Mati Bagi Pemerkosa Anak-Anak