REPUBLIKA.CO.ID, RAMALLAH -- Anggota Komite Eksekutif Organisasi Pembebasan Palestina (PLO) Hanan Ashrawi mengecam Israel karena memenjarakan Darin Tatour. Ia merupakan penyair Palestina yang divonis lima bulan penjara karena puisinya diangggap menghasut kekerasan terhadap Israel.
Ashrawi mengatakan melalui puisi Tatour merupakan bentuk kebebasan berbicara. Puisinya merupakan refleksi kritis terhadap pendudukan militer Israel yang kejam dan agresif.
"Namun Israel menuding penyair menghasut, sementara pendudukan adalah bentuk terburuk dari hasutan," katanya dalam sebuah pernyataan pada Selasa (31/7), dikutip laman kantor berita Palestina WAFA.
Ia menilai, Israel telah melakukan pelanggaran berat terhadap Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia. Deklarasi itu menyerukan perlindungan hak-hak dasar kebebasan berpendapat dan berekspresi.
"Israel dengan cepat menjadi pemerintah yang otokratis dan menindas serta mempraktikkan diskriminasi terang-terangan terhadap warganya sendiri," ujar Ahsrawi.
Ashrawi berpendapat keputusan Israel memenjarakan Tatour telah mendistoris sistem hukum dan peradilannya guna mempromosikan kebijakan resmi berlandaskan nasionalisme etnis, rasisme, dan xenofobia. "Jika pelanggarannya tidak dikekang oleh komunitas internasional, itu akan berhasil dalam memperkuat apartheid dan supremasi rasial di seluruh Israel dan (wilayah) pendudukan Palestina," katanya.
Tatour ditangkap pada Oktober 2015. Penangkapan dilakukan setelah dia mengunggah puisinya di akun media sosialnya. Puisi itu dia bacakan dalam sebuah video dengan menyisipkan cuplikan rekaman warga Palestina yang berdemonstrasi sambil melempar batu ke arah pasukan keamanan Israel. Salah satu bait dalam puisinya berbunyi, "Lawan, bangsaku, lawan mereka. Lawan perampok pemukim, dan ikuti kafilah para martir."
Setelah video pembacaan puisi itu diunggahnya, Tatour ditangkap. Otoritas Israel menganggap karyanya telah menghasut kekerasan terhadapnya. Tatour mengatakan puisinya telah disalahpahami dan menyangkal kandungannya menyerukan kekerasan.
"Mereka tidak mengerti puisi saya. Tidak ada seruan untuk melakukan kekerasan. Ada perjuangan, mereka menjadikannya kekerasan," katanya ketika diwawancara Reuters tahun lalu.
Pascapenangkapannya, Tatour sempat mendekam di penjara selama sekitar tiga bulan. Pada Januari 2016, ia ditempatkan dalam tahanan rumah.
Tatour tinggal di sebuah aprtemen di Tel Aviv. Ruang geraknya dibatasi karena otoritas Israel menganggapnya sebagai ancaman terhadap keselamatan publik.
Kemudian pada Mei lalu pengadilan Israel menjatuhkan vonis lima bulan penjara terhadapnya. Ia dinyatakan bersalah, bukan hanya karena video pembacaan pusinya, tapi juga dua unggahan lain di media sosialnya.
Jaksa menyatakan, dalam satu unggahan lainnya, Tatour dinilai telah memberi dukungan terhadap kelompok perlawanan Palestina Jihad Islam. Kelompok itu telah dinyatakan sebagai kelompok teroris oleh Israel, Inggris, dan Amerika Serikat (AS).
Tatour pun dinyatakan bersalah karena mengunggah foto seorang wanita Arab-Israel yang terluka setelah ditembak polisi Israel. Foto itu diberi judul "Aku adalah martir berikutnya".
Tatour mengaku tak terkejut dengan vonis penjara lima bulan yang dijatuhkan padanya. "Saya mengharapkan penjara dan itulah yang terjadi. Saya tidak mengharapkan keadilan. Penuntutan itu bersifat politik sejak dimulai karena saya orang Palestina, karena ini tentang kebebasan berbicara dan saya dipenjara karena saya orang Palestina," katanya, seperti dikutip laman BBC.