REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Rusia membantah laporan Wall Street Journal yang mengatakan Rusia telah mengizinkan ribuan pekerja Korea Utara (Korut) yang baru masuk ke negara itu dan memberi mereka izin kerja baru. Tindakan itu berpotensi melanggar sanksi PBB.
Surat kabar itu menyebut, lebih dari 10 ribu pekerja Korea Utara (Korut) baru telah mendaftar di Rusia sejak September. Tindakan Rusia tentunya berpotensi melanggar sanksi PBB untuk mengurangi arus kas ke Korut dan memberi tekanan pada Pyongyang guna menghentikan senjata nuklirnya.
Duta Besar Rusia untuk Korut Alexander Matsegora menyangkal pemerintahnya telah mengizinkan pekerja baru untuk memasuki Rusia. Ia mengatakan, dokumen-dokumen baru telah dikeluarkan untuk buruh yang sudah tinggal di Rusia dan menjalankan kontrak lama.
Ia mengatakan, para pekerja diizinkan untuk bekerja di Rusia hingga 29 November 2019 karena kontrak kerja mereka ditandatangani sebelum sanksi diberlakukan. Ada 3.500 izin kerja baru yang telah dikeluarkan bagi pekerja, namun kontrak telah ditandatangani di Rusia sebelum 29 November 2017.
Catatan Departemen Tenaga Kerja yang diperoleh WSJ menunjukkan, minimal 700 izin kerja baru telah dikeluarkan untuk Korut di Rusia tahun ini. Pejabat Amerika Serikat (AS) sedang menyelidiki kemungkinan adanya pelanggaran sanksi.
"Sangat jelas bahwa Rusia perlu berbuat lebih banyak. Rusia mengatakan ingin hubungan yang lebih baik dengan Amerika Serikat, jadi Moskow harus membuktikan bahwa dengan bekerja sama dengan kami, tidak bekerja melawan kami, pada ancaman mendesak ini untuk semua negara," kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri AS.
Diperkirakan, pekerja Korut di Rusia mengirim sekitar 150 juta dolar AS hingga 300 juta dolar AS setiap tahun ke negaranya. Larangan penerimaan tenaga kerja merupakan bagian dari sanksi yang lebih luas dengan tujuan menghapus aliran pendapatan bagi Korut. Sebab, sebagian besar uang yang diterima warga Korut di luar negeri berakhir di peti uang pemerintah.
Dalam laporan yang dirilis oleh organisasi riset nirlaba C4ADS, pembatasan awal dilakukan di Cina dan Rusia. Di dua negara itu, 80 persen pekerja Korut diyakini bekerja.
Bahkan sebuah laporan terpisah yang dirilis Institut Studi Kebijakan Asan yang berbasis di Seoul (Korea Selatan), menyebut antara 2015 dan 2017, Independent Petroleum Company (IPC) yang berbasis di Moskow menjual lebih banyak minyak ke Korut daripada yang dilaporkan secara resmi. "Jumlah minyak yang dijual IPC ke Korea Utara antara 2015 dan 2017 bisa bernilai sebanyak 238 juta dolar AS," katanya.
Sementara laporan resmi Rusia tentang ekspor minyak ke Korut selama periode yang sama hanya 25 juta dolar AS. IPC pun dijatuhi sanksi oleh Departemen Keuangan AS pada Juni 2017 atas perdagangannya dengan Korut. Pada Desember 2017, AS memberlakukan pembatasan ketat pada impor Korut hingga saat ini.