Selasa 07 Aug 2018 18:00 WIB

Rouhani Tuding AS Ingin Perang Urat Saraf dengan Iran

AS jauhkan sanksi ekonomi kepada Iran mulai Senin (6/8).

Rep: Kamran Dikarma/Rizkyan Adiyudha/ Red: Nur Aini
Presiden Iran Hassan Rouhani
Foto: AP
Presiden Iran Hassan Rouhani

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Presiden Hassan Rouhani mengecam Amerika Serikat (AS) karena memberlakukan kembali sanksi ekonomi terhadap negaranya. Menurutnya, AS ingin memulai perang psikologis terhadap Iran.

Menurut Rouhani, AS telah mengabaikan jalur diplomasi ketika memutuskan menjatuhkan sanksi terhadap negaranya. "Mereka (AS) ingin memulai perang urat saraf terhadap Iran," kata Rouhani, dikutip laman BBC, Selasa (7/8).

Sanksi ekonomi diberlakukan kepada Iran dengan menyasar sektor perbankan yang meliputi pembelian atau akuisisi uang kertas AS oleh pemerintah Iran. Selain itu, sanksi termasuk perdagangan emas dan logam mulia Iran, grafit, aluminium, baja, batu bara dan perangkat lunak yang digunakan dalam proses industri.

Sanksi juga memberikan dampak terhadap transaksi terkait mata uang rian Iran, kegiatan yang berkaitan dengan penerbitan utang luar negeri hingga sektor otomotif Teheran. Tahap kedua dari sanksi itu rencananya diberakukan pada 5 November nanti yang membidik sektor energi, perdagangan migas dan transaksi oleh lembaga keuangan asing dengan Bank Sentral Iran. (Baca: Uni Eropa Lawan Sanksi AS untuk Iran)

Rouhani pun tampaknya tak berminat menerima perundingan yang ditawarkan Presiden AS Donald Trump. Setelah menjatuhkan sanksi, Trump menyebut dirinya tetap terbuka bila Iran hendak berunding dengannya. "Saya tetap terbuka untuk mencapai kesepakatan yang lebih komprehensif yang membahas berbagai macam aktivitas buruk rezim (Iran), termasuk program rudal balistik dan dukungannya untuk terorisme," kata Trump.

Hal itu juga diutarakan penasihat keamanan nasional AS, John Bolton. Menurutnya, Iran dapat mengambil tawaran Trump untuk bernegosiasi tentang penghapusan program rudal balistik serta nuklirnya. "Jika para ayatullah ingin keluar dari bawah tekanan, mereka harus datang dan duduk. Tekanan tak akan berhenti ketika negosasi berlangsung," katanya kepada Fox News.

Namun, Rouhani menilai tawaran perundingan itu tak adil dan tak masuk akal. "Negosiasi dengan sanksi tidak masuk akal. Kami selalu mendukung diplomasi dan pembicaraan, tapi pembicaraan membutuhkan kejujuran," ujarnya.

Rouhani mengatakan Iran dapat melakukan pembicaraan hanya jika AS membuktikan bahwa mereka dapat dipercaya. "Jika Anda menikam seseorang dengan pisau dan kemudian mengatakan Anda ingin berbicara, maka hal pertama yang harus Anda lakukan adalah mencabut pisau itu," katanya.

Rouhani menyerukan masyarakat Iran untuk bersatu dalam menghadapi sanksi AS. "Akan ada tekanan karena sanksi, tapi kami akan mengatasi ini dengan persatuan," ujar Rouhani.

AS mulai menerapkan sanksi gelombang pertama terhadap Teheran pada Senin (6/8). Sanksi itu secara khusus menargetkan sektor perbankan Iran. Washington akan menerapkan sanksi gelombang kedua pada 4 November. Sanksi mendatang mengincar sektor energi, terutama ekspor minyak Iran.

Keputusan AS menjatuhkan sanksi-sanksi itu berkaitan dengan keengganan Iran merevisi kesepakatan nuklir yang tercapai pada Oktober 2015, yang dikenal dengan istilah Joint Comprehensive Plan of Action (JCPOA).

Kesepatan tersebut dicapai melalui negosiasi yang panjang dan alot antara Iran dengan AS, Cina, Rusia, Jerman, Prancis, Inggris, dan Uni Eropa. Inti dari JCPOA adalah memastikan bahwa penggunaan nuklir Iran terbatas untuk kepentingan sipil, bukan militer. Sebagai imbalannya, sanksi ekonomi Iran akan dicabut.

Namun, Trump berulang kali menyatakan ketidakpuasannya terhadap JCPOA. Ia menilai JCPOA adalah kesepakatan yang cacat. Sebab dalam JCPOA tak diatur tentang program rudal balistik Iran, kegiatan nuklirnya selepas 2025, dan perannya dalam konflik Yaman serta Suriah. Akhirnya pada Mei lalu, Trump menarik AS dari kesepakatan tersebut.

Keputusan tersebut dikritik dan diprotes oleh Iran. Teheran berpendapat AS telah melanggar janjinya dengan hengkang dari JCPOA. Jerman, Prancis, Cina, dan Uni Eropa pun mengambil sikap berlawanan dengan AS. Mereka berkomitmen mempertahankan JCPOA. Menurut mereka, kesepakatan tersebut masih relevan dan berfungsi untuk menjaga stabilitas di kawasan.

Sementara, sanksi ekonomi AS otomatis akan membuat warga Iran hidup dalam tekanan menyusul naiknya harga barang kebutuhan hidup. Blokade ekonomi juga berpotensi menyebabkan pengangguran hingga minimnya pasokan air bersih yang membuat warga melakukan unjuk rasa di sejumlah kota.

Kendati, skala penuh dari sanksi tersebut masih belum bisa dikalkulasikan secara sempurna. Namun, sanksi dengan pasti akan memberikan dampak pada nilai mata uang Iran yang juga telah kehilangan sekitar separuh dari nilainya sejak Trump mengumumkan penarikan AS dari kesepakatan nuklir.

Dampak dari sanksi tersebut baru akan terlihat sepenuhnya setelah AS memblokir ekspor migas Iran. Langkah itu berpotensi menghentikan sekitar setengah dari ekspor minyak Iran sebesar dua juta barel per hari. Namun, pemerintah Iran kemungkinan akan menjual minyak mereka ke Cina dan Rusia.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement