REPUBLIKA.CO.ID, DHAKA -- Menteri Luar Negeri Bangladesh Abul Hassan Mahmood Ali akan mengunjungi Negara Bagian Rakhine di Myanmar pada Kamis (9/8). Ia akan didampingi anggota the Joint Working Group (JWG) dan Wakil Menteri Luar Negeri Md Shahidul Haque.
Kunjungan mereka ke Rakhine adalah untuk memeriksa apakah Pemerintah Myanmar telah melakukan upaya-upaya untuk proses repatriasi pengungsi Rohingya. Misalnya, apakah lingkungan telah kondusif, rumah-rumah telah dibangun, kepemilikan tanah dikembalikan kepada etnis Rohingya, dan pemenuhan hak-hak lainnya, termasuk perihal pekerjaan.
Dengan pemeriksaan tersebut, Pemerintah Bangladesh berharap dapat menyampaikan situasi terkini di Rakhine kepada para pengungsi Rohingya. Sebelumnya Shahidul Haque mengatakan Myanmar telah mengambil inisiatif berbeda dari apa yang telah mereka katakan kepada komunitas internasional.
"Namun kami ingin melihat situasi di dalam 'daging' (Rakhine). Oleh karena itu tim JWG yang dipimpin menteri luar negeri akan pergi ke negara bagian Rakhine utara," kata Shahidul Haque seperti dikutip Anadolu Agency.
Lebih dari setengah juta warga Rohingya telah mengungsi ke Bangladesh sejak militer Myanmar menggelar operasi di negara bagian Rakhine pada Agustus 2017. Operasi itu sebenarnya digelar dalam rangka memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Namun dalam pelaksanaannya pasukan atau para tentara Myanmar turut menyerang dan menghabisi warga sipil Rohingya di sana.
Baca juga, Aung San Suu Kyi: Tak Ada Pembersihan Etnis Rohingya.
PBB telah menyatakan bahwa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis. PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia.
Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim JWG. Namun pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.
Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.