Kamis 09 Aug 2018 12:43 WIB

Jet Tempur Israel Tembaki Kompleks Militer Hamas di Gaza

Seorang warga Palestina tewas dalam serangan jet tempur Israel.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Jet tempur Israel, F-16 lepas landas.
Foto: AP PHOTO
Jet tempur Israel, F-16 lepas landas.

REPUBLIKA.CO.ID, GAZA -- Jet-jet tempur Israel menyerang lebih dari 140 target strategis Hamas di Gaza. Itu merupakan respons pasukan keamanan Israel atas serangan lebih dari 150 roket yang diluncurkan dari Gaza pada Rabu (8/8) malam.

Israel Defense Force (IDF), dalam keterangan di Twitter resminya menyebut, jet-jet tempur Israel menargetkan lebih dari 20 situs di kompleks militer dan kamp pelatihan Hamas. Situs yang dihancurkan antara lain pabrik senjata, fasilitas penyimpanan militer, dan kompleks yang digunakan angkatan laut Hamas serta tempat peluncuran roket.

"Selain itu, lima kamp pelatihan menjadi sasaran serta gudang utama dan titik pertemuan yang digunakan oleh komandan senior Brigade Khan Yunis. Sejauh ini, lebih dari 140 lokasi militer strategis Hamas telah ditargetkan," kata IDF pada Kamis (9/8), dikutip laman Sputnik.

Serangan Israel ke Gaza pada Rabu malam dilaporkan menewaskan seorang warga Palestina. "Seorang pria Palestina berusia 30 tahun tewas dalam serangan dekat kota Beit Lakhia. Enam orang terluka sejauh ini akibat agresi Israel," kata juru bicara otoritas kesehatan Gaza Ashraf Qidra.

Aksi saling serang yang kembali terjadi di Gaza telah memicu kekhawatiran, khususnya PBB. Hal itu karena Gaza telah diambang kehancuran total, baik secara ekonomi maupun sosial, akibat krisis kemanusiaan yang disebabkan blokade Israel selama lebih dari 10 tahun.

Sekitar 80 persen dari penduduk Gaza yang berjumlah 2 juta orang menggantungkan hidupnya dari bantuan kemanusiaan. Mereka tak dapat lagi menghidupi dirinya sendiri karena aktivitas perekonomian telah lumpuh akibat blokade Israel.

Pada 2017 lalu, PBB mengatakan Gaza akan menjadi tempat yang tak layak huni. Koordinator Bantuan dan Pembangunan PBB untuk Palestina Robert Piper mengungkapkan bahwa kondisi 2 juta penduduk Gaza dari tahun ke tahun kian mengkhawatirkan.

Satu dekade setelah kelompok Hamas merebut Gaza, perlahan tapi pasti penduduk Gaza mulai menghadapi krisis. Hal itu seperti penurunan pendapatan, minimnya perawatan kesehatan, pendidikan, hingga sulitnya sumber energi atau listrik.

"Setiap indikator, dari energi hingga air, perawatan kesehatan hingga pekerjaan, kemiskinan hingga kerawanan pangan, setiap indikator ini menurun. Warga Gaza telah melewati perkembangan deformasi lambat ini selama satu dekade," ungkap Piper tahun lalu.

Piper mengamati sumber pasokan listrik yang kian susut di Gaza. Menurutnya, 2017 merupakan tahun terparah dari kekurangan sumber pasokan listrik di daerah yang diisolasi tersebut.

Hingga saat ini, Gaza memang mengandalkan pasokan listrik dari Israel. Pasokan itu terus menerus dipangkas jatahnya. Namun, Israel mengklaim bahwa pemotongan suplai listrik merupakan permintaan Otoritas Palestina yang berbasis di Ramallah. 

Piper mengatakan, pada 2020, bila pertumbuhan penduduk meningkat signifikan, Gaza akan membutuhkan suplai listrik setidaknya 850 megawatt per hari. Namun, Piper menilai pasokan listrik tidak akan mungkin mencapai atau melebihi 360 megawatt.

Hasilnya adalah penduduk Gaza, yang diproyeksikan akan tumbuh sekitar 10 persen dalam tiga tahun ke depan, harus siap menghadapi krisis di semua aspek, termasuk kelangkaan sumber daya. "Saya melihat proses mencekik yang luar biasa tidak manusiawi dan tidak adil ini secara perlahan," kata Piper.

Menurutnya, setiap pihak yang berpolemik di Gaza harus mampu menempatkan kepentingan dan kebutuhan warga di sana di atas apapun. "Seseorang harus melangkah mundur dan menempatkan kepentingan warga sipil di puncak antrean untuk sebuah perubahan," ujar Piper.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement