REPUBLIKA.CO.ID, ULSAN -- Lee Dong-hee, datang ke Ulsan, kota dimana Galangan kapal Hyundai beroperasi, lima tahun lalu untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Namun pria berusia 52 tahun ini terpaksa bernasib sama dengan 27 ribu pekerja galangan kapal yang di PHK (putus hubungan kerja) antara 2015-2017.
"Lima tahun lalu, galangan kapal Hyundai beroperasi siang dan malam. Pekerjanya bisa mendapatkan gaji hingga tiga kali lipat dari rata-rata gaji pekerja," kata Lee Dong-hee.
Dia mulai di-PHK sejak Januari 2018. Sekitar 27.000 pekerja galangan kapal Hyundai dan sub kontraktor terpaksa dirumahkan akibat galangan kapal tersebut merosot permintaan produksi kapal akibat persaingan dengan China.
Untuk mendukung kehidupan keluarga, istri Lee mengambil pekerjaan upah minimum di pemasok Hyundai Motor. Anaknya yang berumur 20 tahun putri, yang memasuki universitas yang berafiliasi dengan Hyundai Heavy berharap mendapatkan pekerjaan lain.
Kehidupan keluarga Lee mencerminkan kemunduran Ulsan. Ekonomi di Ulsan terguncang akibat persaingan dengan Cina, meningkatnya biaya tenaga kerja dan ketergantungannya pada Hyundai.
Kehidupan ekonomi keluarga pekerja yang makin merosot drastis dikhawatirkan dapat memicu tingkat bunuh diri yang tinggi di kota Ulsan. Ironisnya, Ulsan pernah menjadi kota termaju dan terkaya di Korsel pada tahun 2007. Berdasarkan biro pusat statistik Korsel, Ulsan sekarang menjadi kota yang paling cepat menua di negeri Ginseng ini.
Perekonomian Korsel fokus pada ekspor juga telah membuat ekonomi terbesar ke empat di Asia ini rentan terhadap proteksionisme yang sedang tumbuh di kalangan mitra dagang utamanya.
"Hyundai adalah segalanya bagiku. Aku merasa putus asa," kata Lee di apartemennya, kompleks bertingkat tinggi yang populer dengan Hyundai Motor pekerja 10 km (6 mil) dari pabrik pembuat mobil.