REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Ulsan kini menjadi kota yang tidak populer bagi para generasi muda yang sedang mencari pekerjaan di Korea Selatan. Bertahun-tahun, Ulsan mengalami ketergantungan dengan perusahaan raksasa Hyundai.
Kini, perusahaan galangan kapal Hyundai kalah bersaing sehingga harus mem-PHK 27 ribu karyawannya. Semua orang seolah terdampak dari peristiwa ini.
Setelah para pekerja pembuat kapal besar kehilangan pekerjaan, para pekerja otomotif khawatir mereka akan mengalami nasib yang sama. Hyundai Motor telah memindahkan beberapa produksi lepas pantai. Perkiraan internal dari riset Reuters menunjukkan produksi dalam negeri diperkirakan turun menjadi 37 persen pada tahun ini, dan turun dari hampir 80 persen di tahun 2004.
Para eksekutif mengatakan hal tersebut perlu karena biaya tenaga kerja yang tinggi serta serikat pekerja yang tangguh berada di rumah. Namun para pekerja mengatakan banyaknya masalah yang menerpa Hyundai merupakan hasil dari perbuatannya sendiri.
Misalnya, lantaran gagalnya meramalkan meledaknya SUV di pasar utama Amerika Serikat dan kehilangan momentum untuk melakukan pergeseran ke mobil listrik. Hyundai Motor menolak berkomentar terkait hal ini.
Awal tahun ini mereka berjanji untuk mempekerjakan 45 ribu orang di seluruh grup selama lima tahun ke depan dan berinvestasi dalam bisnis baru, termasuk 'robot yang bisa dipakai' dan kecerdasan buatan.
Dalam banyak hal, tantangan yang dihadapi Ulsan, mencerminkan hal-hal yang dihadapi oleh Amerika Serikat Barat Tengah pada tahun 1970an dan 1980an. Jantung industri yang dulu makmur dilanda pekerjaan besar dan kehilangan penduduk.
Beberapa ahli dan eksekutif industri memperingatkan Ulsan sebagai rumah bagi pembuat kapal terbesar di dunia dan kompleks pembuatan mobil terbesar mungkin sedang membuat 'Rust Belt', istilah terkait kemunduran ekonomi di Korea Selatan.
"Bisa jadi lebih buruk di sini, karena semuanya tentang Hyundai dan pemasoknya," kata seorang profesor ekonomi politik internasional Yonsei University di Seoul, Mo Jong-Ryn. "Tidak ada alternatif," tambahnya.
Dari desa nelayan menuju kota industri
Pengusaha legendaris Chung Ju-yung mendirikan Hyundai Motor di Ulsan pada 1967 dan Hyundai Heavy enam tahun kemudian. Dirinya mengubah sebuah desa nelayan kecil yang dikenal sebagai tempat berburu ikan paus menjadi kota perusahaan raksasa.
Selama beberapa dekade, pencari kerja berbondong-bondong ke kota, diiming-imingi upah yang tinggi, perumahan yang disubsidi oleh perusahaan dan keuntungan yang besar. Dominasi Hyundai masih sangat terasa.
Pekerja dengan seragam Hyundai abu-abu mengendarai mobil Hyundai, berbelanja di pusat perbelanjaan Hyundai, tinggal di apartemen Hyundai dan pergi ke rumah sakit Hyundai untuk mendapatkan pelayanan medis. Anak-anak bersekolah di sekolah dan universitas Hyundai.
Setelah mengalami penurunan bisnis, Hyundai Heavy menjual asetnya seperti asrama karyawan dan sebuah kompleks besar untuk komunitas orang-orang luar negeri. Kompleks tersebut biasanya digunakan untuk para klien seperti BP dan Exxon Mobil berserta keluarga mereka, kata para pejabat. Kompleks tersebut meliputi townhouse, lapangan golf, kolam renang dan sekolah.
Seorang juru bicara mengatakan Hyundai Heavy melakukan yang terbaik untuk 'menormalkan perusahaan'. Hyundai Heavy bekerja sama dengan serikat pekerja untuk mengatasi kurangnya pekerjaan dan tenaga kerja yang menganggur.
Ulsan menyumbang sebanyak 12 persen dari jumlah ekspor Korea Selatan tahun lalu. Ini merupakan yang terendah sejak tahun 2000 dan turun dari pencapaian puncak pada 2008 yakni sebesar 19 persen, menurut data pabean.
Kota ini juga telah menjadi saksi meningkatnya jumlah kasus bunuh diri, dan sekarang telah menjadi tingkat bunuh diri tertinggi di negara tersebut bagi mereka yang berusia antara 25 dan 29 tahun, menurut Statistics Korea.
Rumah sakit Universitas Ulsan, yang dikelola oleh Hyundai Heavy, mencatat ada sebanyak 182 upaya bunuh diri pada semester pertama tahun ini. "Bandingkan dengan tahun sebelumnya yang berjumlah 150 kasus," kata seorang pejabat rumah sakit.
Pengemudi taksi telah diberitahu oleh polisi untuk tidak menurunkan penumpang di jembatan Ulsan yang baru dibangun, setelah tiga orang melakukan bunuh diri di sana hanya dalam kurun waktu satu bulan.
"Orang-orang percaya bahwa jika mereka bekerja keras, mereka akan menjadi lebih baik, dan jika anak-anak mereka belajar dengan giat, mereka akan menjadi lebih baik. Menghadapi realitas yang berbeda sekarang, tampaknya banyak dari mereka yang mencapai titik tanpa harapan, dan beberapa bahkan membuat pilihan ekstrim," kata Park Sang-hoon, seorang pejabat di pusat pencegahan bunuh diri Ulsan.