REPUBLIKA.CO.ID, MELBOURNE -- Pemerintah Australia akan mengumumkan rencana Undang-undang baru yang bertujuan membantu pihak intelijen dan kepolisian dalam mencegah kejahatan melalui telepon dan internet. Hal itu akan membuka kesempatan bagi pemerintah untuk mengintip isi telepon warga.
Menurut pemerintah, UU yang ada saat ini sudah ketinggalan zaman karena disusun di era ketika HP dan surat elektronik pun belum ada. Pihak kepolisian dan inteleijen selama ini mengkhawatirkan para penjahat seperti teroris dan pedofil dapat melakukan aksinya tanpa bisa memantau komunikasi mereka.
"Dalam 12 bulan terakhir, ada 200 kasus dimana penyelidikan kejahatan serius sangat dipengaruhi oleh ketidakmampuan kami mengakses data di bawah ketentuan UU yang ada," kata Menteri Keamanan Siber Australia, Angus Taylor.
"Risikonya yaitu para penjahat, teroris, pedofil, dan penyelundup narkoba lolos dari kejahatan mereka tanpa bisa kita tahan," ujarnya menambahkan.
Untuk itu, menurut pemerintah, revisi UU tersebut akan dilakukan untuk memastikan para penjahat "tak punya tempat bersembunyi". Pemerintah berdalih UU tak dimaksudkan untuk mengintip isi hp warga . Artinya, perusahaan teknologi komunikasi tak akan dipaksa memecahkan sistem enkripsi yang tak mereka pegang "kunci utamanya".
"Kami yakin enkripsi sangat penting dalam melindungi warga Australia," katanya.
Menurut dia, legalisasi itu tidak akan memberi peluang penegak hukum meminta perusahaan teknologi menciptakan kelemahan dalam sistem enkripsi mereka. Ada perbedaan antara enkripsi pada pesan yang dikirim satu sama lain dengan enkripsi untuk layanan berbagi file berbasis cloud.
Sebagai contoh, Apple tidak akan dipaksa membuat enkripsi untuk layanan pesan iMessage. Kunci enkripsi iMessage berbeda-beda untuk setiap pengguna.
Tapi Apple memang memegang kunci enkripsi tunggal untuk layanan iCloud. Hal itulah yang bisa diminta dibuka oleh pemerintah. Misalnya Anda menggunakan aplikasi untuk mengirim pesan ke teman, pesan itu dienkripsi saat dikirim antara dua HP atau gajet. Ketika sampai, pesan itu didekripsi untuk bisa dibaca di penerima.
Dalam UU baru nanti diatur, jika penegak hukum memiliki surat perintah pengadilan untuk memantau HP Anda, maka mereka pun bisa membaca pesan tersebut. Bahkan, mereka bisa mencopy, memeriksa isi HP atau gajet, serta menghapus item seperti pesan atau foto jika diperlukan.
Menurut Menteri Angus Taylor, hal ini hanya akan diterapkan di bawah pedoman yang sangat ketat.
Bagaimana cara kerjanya?
Badan intelijen ASIO atau Kepolisian Federal Australia (AFP) akan diberi kewenangan meminta perusahaan teknologi telekomunikasi membantu mereka dalam penyelidikan.
Permintaannya mulai dari hal mendasar seperti informasi tentang bagaimana cara kerja layanan atau aplikasi pesan untuk memantau seseorang. Namun mereka juga dapat meminta akses ke profil online seseorang atau arsip pesan di HP orang tersebut.
Menteri Taylor mengatakan perusahaan teknologi telekomunikasi juga dapat dimintai bantuannya menemukan seorang tersangka. "Bila kami harus melacak tersangka teroris, kami ingin akses data GPS. Kita tak dapat melacak mereka tanpa mengetahui di mana mereka berada," ujarnya.
Permintaan pihak berwenang Australia ke perusahaan teknologi telekomunikasi itu terdiri atas tiga tingkatan. Pertama, yang sifatnya sukarela. Kedua, permintaan wajib di mana perusahaan harus membantu atau jika tidak, akan didenda hingga 10 juta dolar AS. Sedangkan bagi individu dendanya 50 ribu dolar AS.
Tahap ketiga, permintaannya bukan hanya wajib bagi perusahaan atau individu, tapi juga mengharuskan mereka membangun sistem sendiri untuk membantu. Artinya, jika mereka tak tahu atau tak bisa memenuhi permintaan pihak berwenang, maka mereka sendiri yang harus berusaha memenuhinya.
Mungkin sulit mengejar pengembang aplikasi atau perusahaan teknologi di negara di luar Australia. Namun pemerintah percaya mitranya di negara lain akan bekerja sama.
Dengan UU baru, tidak jelas apakah pemerintah dan lembaga penegak hukum akan langsung meminta akses tersebut ke perusahaan teknologi. Sebagai catatan, sejak 2013 Pemerintah Australia mengajukan 6.977 permintaan data dari Facebook terkait dengan 7.759 akun berbeda. Facebook dilaporkan telah memenuhi sekitar 67 persen permintaan data tersebut.
Diterbitkan oleh Farid M. Ibrahim dari artikel ABC Australia.