Selasa 21 Aug 2018 20:28 WIB

Suu Kyi: Terorisme Masih Jadi Ancaman di Rakhine

Ia tidak secara langsung menyebut krisis Rohingya dalam pidatonya.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Ani Nursalikah
Aung San Suu Kyi
Foto: AP
Aung San Suu Kyi

REPUBLIKA.CO.ID, SINGAPURA -- Pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi mengatakan terorisme tetap menjadi ancaman di negara bagian Rakhine. Ia menilai kegiatan teroris memiliki dampak dan konsekuensi serius, tidak hanya bagi Rakhine, tapi juga negara-negara tetangga Myanmar. 

"Bahaya kegiatan teroris, yang merupakan penyebab awal peristiwa yang menyebabkan krisis kemanusiaan di Rakhine tetap nyata dan hadir hari ini," kata Suu Kyi dalam sebuah pidato di Singapura pada Selasa (21/8).

Ia tidak secara langsung menyebut krisis Rohingya dalam pidatonya. Ia mengatakan, bila tantangan keamanan itu tak ditangani, risiko keamanan antarkomunal akan tetap ada.

"Ini adalah ancaman yang dapat menimbulkan konsekuensi serius, bukan hanya untuk Myanmar tetapi juga untuk negara-negara lain di kawasan kami dan sekitarnya," ujarnya.

Dalam kesempatan tersebut Suu Kyi pun menyinggung tentang proses repatriasi pengungsi Rohingya dari Bangladesh. Ia mengungkapkan saat ini ruang-ruang untuk permukiman bagi etnis Rohingya yang akan dipulangkan telah dipetakan.

Kendati demikian, ia menjelaskan jangka waktu yang dibutuhkan untuk proses repatriasi tak dapat diprediksi. Sebab Bangladesh dan Myanmar harus bekerja sama dalam melaksanakan proses tersebut. "Saya pikir Bangladesh juga harus memutuskan seberapa cepat proses itu ingin diselesaikan," kata Suu Kyi.

Gelombang pengungsi Rohingya mulai memasuki Bangladesh pada Agustus 2017. Hal itu terjadi seusai militer Myanmar menggelar operasi di Rakhine untuk memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Walaupun memburu gerilyawan, tentara Myanmar turut menyerang dan membunuh warga sipil di sana.

PBB telah menyatakan bahwa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis. PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia.

Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim Joint Wroking Group. Namun pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.

Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement