REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -– PBB memperingatkan potensi hilangnya generasi anak-anak etnis Rohingya, baik yang kini tinggal di tenda pengungsi di Bangladesh maupun di tempat asalnya yaitu negara bagian Rakhine, Myanmar. Menurut PBB, selain akses ke pendidikan yang minim, mereka juga mengahadapi bahaya wabah penyakit.
“Kami berbicara tentang mempertaruhkan kehilangan atau potensi kehilangan generasi anak-anak Rohingya. Ini bukan hanya setengah juta anak-anak di perbatasan Bangladesh, tapi juga mereka yang masih tertinggal di negara bagian Raknine, yang aksesnya ke pendidikan tidak tersedia dan sangat terbatas,” kata juru bicara Badan PBB untuk Anak-Anak (UNICEF) Simon Ingram dalam sebuah konferensi pers di kantor PBB di Jenewa, Swiss, Kamis (23/8).
Ingram pun mengomentari tentang kesepakatan repatriasi yang telah dicapai Bangladesh dan Myanmar. Ia menilai proses repatriasi tidak akan berlangsung lancar dan sesuai rencana mengingat situasi di Rakhine masih belum sepenuhnya aman bagi etnis Rohingya.
Baca juga, Satu Juta Muslim Rohingya Rayakan Idul Adha di Pengungsian.
Sementara itu pemimpin de facto Myanmar Aung San Suu Kyi telah mengatakan, ruang-ruang permukiman bagi pengungsi Rohingya yang akan dipulangkan dari Bangladesh telah dipetakan.
Pengungsi Rohingya Myanmar saling berpelukan dan menangis pada pagi Lebaran Idul Fitri 1439 H di penampungan sementara komplek SKB Cot Gapu, Bireuen, Provinsi Aceh. Jumat (15/6).
Menurut PBB, terdapat sekitar 530 ribu hingga 600 ribu etnis Rohingya tanpa kewarganegaraan yang masih berada di Rakhine. Sebanyak 360 ribu di antaranya adalah anak-anak. PBB mengaku kesulitan untuk menolong dan membantu mereka karena keterbatasan akses yang diberikan otoritas Myanmar.
Krisis Rohingya telah berlangsung selama satu tahun. Namun hingga saat ini, tanda-tanda bahwa krisis itu akan berakhir belum tampak. Sebaliknya, masih terdapat Rohingya yang melarikan diri dari Rakhine menuju Bangladesh.
Gelombang pengungsi Rohingya mulai memasuki Bangladesh pada Agustus 2017. Hal itu terjadi seusai militer Myanmar menggelar operasi di Rakhine untuk memburu gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA). Walaupun memburu gerilyawan, tentara Myanmar turut menyerang dan membunuh warga sipil di sana.
PBB telah menyatakan bahwa yang dilakukan militer Myammar terhadap Rohingya merupakan pembersihan etnis. PBB juga telah menggambarkan Rohingya sebagai orang-orang yang paling teraniaya dan tertindas di dunia.
Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim Joint Wroking Group. Namun pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.
Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan.