Jumat 24 Aug 2018 06:40 WIB

Unicef Serukan Investasi untuk Pendidikan Pengungsi Rohingya

Anak-anak di kamp pengungsi menghadapi masa depan yang suram.

Rep: Dian Erika Nugraheny/ Red: Muhammad Hafil
Para pengungsi Rohingya di Bangladesh melaksanakan Shalat Idul Fitri di masjid kecil di kamp-kamp kumuh.
Foto: Arabnews
Para pengungsi Rohingya di Bangladesh melaksanakan Shalat Idul Fitri di masjid kecil di kamp-kamp kumuh.

REPUBLIKA.CO.ID,  NEW YORK-- Organisasi PBB untuk bantuan kesejahteraan anak-anak, Unicef, menyerukan investasi kepada kamp-kamp pengungsian di Cox Bazar, Bangladesh. Unicef mendesak agar ada upaya bersama membangun peluang pemenuhan hak bagi anak-anak Rohingnya dalam jangka panjang.

Dalam laporan berjudul, 'Masa Depan dalam Kesimbangan: Membangun Harapan untuk Generasi anak-anak Rohingnya', Unicef menandai satu tahun masuknya para pengungsi Rohingnya yang melarikan diri dari negara bagian Rakhine di Myanmar.

Perwakilan Unicef untuk Bangladesh, Edouard Beigbeder, mengatakan bahwa investasi dalam pendidikan untuk anak-anak Rohingya sangat dibutuhkan untuk mempersiapkan masa depan komunitas mereka.

“Jika kita tidak melakukan investasi dalam pendidikan sekarang, kita menghadapi bahaya nyata melihat 'generasi yang hilang' dari anak-anak Rohingya, anak-anak yang tidak memiliki keterampilan yang mereka butuhkan untuk menghadapi situasi mereka saat ini, dan siapa yang tidak akan mampu berkontribusi pada masyarakat mereka kapan pun mereka dapat kembali ke Myanmar, ”kata Beigbeder sebagaimana dilansir dari Anadolu Agency, Jumat (24/8).

Anak-anak di kamp pengungsi, lanjut dia, menghadapi masa depan yang suram, dengan sedikit kesempatan untuk belajar, dan tidak tahu kapan mereka akan kembali ke rumah.  Beigbeder menyerukan kepada masyarakat internasional untuk berinvestasi dalam mendukung pendidikan berkualitas dan keterampilan hidup untuk semua anak-anak Rohingya, terutama untuk  anak-anak perempuan dan remaja.

Berdasarkan data Unicef, hanya 140.000 dari setengah juta anak-anak Rohingya di kamp-kamp yang telah terdaftar di 1.200 pusat belajar. Jumlah ini berdasarkan pendataan pada 2012.

“Namun, tidak ada kurikulum yang disepakati, ruang kelas sering penuh sesak dan kekurangan air dasar dan fasilitas lainnya,” Beigbeder.

Laporan itu juga menyerukan kepada pemerintah Myanmar untuk memastikan pendidikan bagi anak-anak Rohingya yang masih tinggal di negara bagian Rakhine.

Pada Sabtu (25/8) akan menandai satu tahun gelombang 750.000 pengungsi Rohingya.  Sebagian besar pengungsi adalah anak-anak dan perempuan, telah melarikan diri dari Myanmar dan menyeberang ke Bangladesh setelah pasukan Myanmar melancarkan tindakan kekerasan terhadap komunitas Muslim minoritas.

Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement