REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Sekelompok Muslim Rohingya berkumpul di depan Gedung Capitol AS, Sabtu (25/8) waktu setempat. Mereka memperingati satu tahun pertama kekerasan terhadap kelompok mereka oleh tentara Myanmar di negara bagian Rakhine dan langkah eksodus mereka ke Bangladesh.
Demonstrasi tersebut dikoordinasikan oleh beberapa organisasi Muslim dan Rohingya, termasuk Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR), Pusat Islam Dar Al-Hijrah, Kampanye Internasional untuk Rohingya dan Satuan Tugas Burma.
"Kami ingin pembantaian ini diterima sebagai genosida oleh AS dan komunitas internasional," kata Direktur Task Force Burma, Hena Zuberi, dilansir dari Anadolu Agency, Ahad (26/8).
Lebih dari 750 ribu warga Rohingya melarikan diri dari Myanmar pada Agustus lalu dan menyeberang ke Bangladesh. Mereka melarikan diri dari kekerasan dan pembantaian yang diprakarsai oleh tentara Myanmar.
Zuberi menyebutkan, kelompok Muslim Rohingya berpikir bahwa eksodus akan menjadi solusi sementara. Mereka akan kembali ke rumah sendiri, tapi satu tahun kemudian mereka seperti tetap berada di kamp pengungsian.
"Sudah setahun, dan tidak ada yang berubah. Jarumnya macet, dan kami ingin jarum ini bergerak," tambah dia.
Ia mengatakan, ini panggilan dari orang-orang Rohingya untuk ditandai di seluruh dunia. Jadi, kata Zuberi, pihaknya dapat mendukung warga Muslim Rohingya.
"Sehingga kami dapat berdiri dalam solidaritas dengan mereka, dapat mendidik orang-orang tentang genosida," ungkap Zuberi.
Sejak 25 Agustus 2017, lebih dari 24 ribu Muslim Rohingya telah dibantai oleh pasukan negara Myanmar. Hal ini berdasarkan data Badan Pembangunan Internasional Ontario (OIDA). Dalam laporannya baru-baru ini, perkiraan jumlah Rohingya yang terbunuh menjadi 23.962.
Masih berdasarkan laporan tersebut, lebih dari 34 ribu orang Rohingya dilemparkan ke dalam api, sementara lebih dari 114 ribu lainnya dipukuli, 17.718 perempuan dan gadis Rohingya diperkosa oleh tentara dan polisi Myanmar. Lebih dari 115 ribu rumah warga Rohingya dibakar dan 113 ribu lainnya dirusak.
Rohingya, yang digambarkan oleh PBB sebagai orang-orang yang paling teraniaya di dunia, telah menghadapi ketakutan yang meningkat karena puluhan orang terbunuh dalam kekerasan komunal pada tahun 2012.
PBB mendokumentasikan perkosaan massal, pembunuhan termasuk bayi dan anak kecil, pemukulan brutal, dan penghilangan yang dilakukan oleh pasukan negara Myanmar. Dalam laporannya, para penyelidik PBB mengatakan bahwa pelanggaran tersebut mungkin merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.