Senin 27 Aug 2018 21:14 WIB

Iran akan Bantu Rekonstruksi Suriah

Infrastruktur Suriah hancur akibat konflik sejak 2011.

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Gedung-gedung di dekat Lapangan Saadallah al-Jabri kota Aleppo, Suriah hancur akibat ledakan bom hari Rabu (3/10).
Foto: AP
Gedung-gedung di dekat Lapangan Saadallah al-Jabri kota Aleppo, Suriah hancur akibat ledakan bom hari Rabu (3/10).

REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS –- Pemerintah Iran siap membantu rekonstruksi Suriah. Hal tersebut dinyatakan Menteri Pertahanan Iran Amir Hatami saat berkunjung ke Suriah pada Ahad (26/8).

Dalam kunjungan tersebut, Hatami melakukan pertemuan dengan Presiden Suriah Bashar al-Assad dan Menteri Pertahanan Suriah Ali Abdullah Ayoub. Pada pertemuan itu, Hatami mengatakan negaranya siap mendukung dan membantu rekonstruksi Suriah yang telah didera konflik sejak 2011.

Menurut Hatami saat ini Suriah berada dalam fase krusial. “Suriah melewati tahap kritis dan memasuki tahap rekonstruksi yang sangat penting,” ujarnya, dikutip laman Aljazirah.

Ia menegaskan tidak akan ada pihak ketiga yang terpengaruh dengan komitmen Iran mendukung proses rekonstruksi Suriah. Pernyataannya itu menyinggung seruan negara-negara kekuatan dunia yang bersikeras bahwa bantuan rekonstruksi seharusnya hanya datang dengan transisi politik. Dalam konteks ini, mereka menghendaki Assad lengser dari posisinya.

Bulan lalu, Assad mengatakan rekonstruksi Suriah adalah prioritas utamanya. Sebab peperangan telah meruntuhkan dan memorak-porandakan infrastruktur di negaranya. Menurut United Nations Economic and Social Commission for Western Asia (UNESCWA), sejak meletus pada 2011, perang Suriah telah menimbulkan kerugian sebesar 388 miliar dolar AS. “Angka itu belum termasuk kerugian manusia yang dihasilkan dari kematian atau hilangnya kompetensi manusia dan tenaga kerja terampil karena perpindahan, yang dianggap sebagai hal yang paling penting dari ekonomi Suriah," kata UNESCWA pada awal Agustus lalu.

Kendati demikian, UNESCWA belum dapat merinci semua kerugian ekonomi yang diderita Suriah selama konflik. UNESCWA mengatakan laporan lengkap tentang dampak perang Suriah akan dirilis pada September mendatang.

Saat bertemu Hatami, Assad mengatakan Iran dan Suriah harus menetapkan rencana kerja sama jangka panjang. Hal tersebut direalisasikan dengan penandatanganan kesepakatan kerja sama dalam bidang militer dan pertahanan.

Melalui kesepakatan itu, Iran ingin membantu Suriah memperluas persenjataan militernya. “Iran memiliki kemampuan tinggi di bidang pertahanan dan dapat membantu Suriah dalam memperluas peralatan militer mereka,” kata Hatami, dikutip laman Asharq Al-Awsat.

Hal tersebut diperkirakan akan mengundang kecaman dari AS. Sebab pekan lalu, penasihat keamanan nasional AS John Bolton mendesak Iran agar menarik pasukan militernya dari Suriah. Iran memang telah mengirim pasukan militernya ke Suriah. Namun Teheran menegaskan bahwa mereka hanya penasihat, bukan petempur.

Sementara itu, Ali Abdullah Ayoub mengapresiasi dukungan Iran untuk Suriah. “Hubungan Suriah dengan Iran adalah model untuk hubungan bilateral antara negara-negara merdeka dan berdaulat,” ujarnya.

Ayoub mengatakan, saat ini Suriah tengah berusaha untuk kembali menguasai Idlib. Dengan bantuan Iran dan Rusia, ia yakin Idlib akan berhasil direbut dari milisi oposisi dan kelompok teroris. “Semua tanah Suriah akan dibersihkan dari terorisme, baik melalui rekonsiliasi atau operasi darat,” katanya.

Ia pun mengecam AS yang telah mendirikan pangkalan militer di negaranya, tepatnya di timur Sungai Eufrat. “Amerika sedang mencari cara untuk tetap di timur Sungai Eufrat untuk mengunci kehadiran mereka di wilayah ini,” ujar Ayoub.

AS mendirikan pangkalan militer di Sungai Eufrat dengan tujuan memerangi milisi ISIS. Namun dalam konflik Suriah, AS memihak pada kubu atau kelompok oposisi. AS, bersama Inggris dan Prancis, pernah melancarkan serangan udara besar-besaran pada April lalu. Ketiga negara mengklaim serangan itu dilakukan untuk menghancurkan fasilitas-fasilitas militer yang diyakini menjadi tempat pengembangan senjata kimia Suriah.

PBB telah berulang kali berupaya menginisiasi perundingan perdamaian antara pemerintah Suriah dan kubu oposisi. Pada Desember 2017, perundingan damai Suriah putaran kedelapan yang digelar di Jenewa, Swiss, berakhir tanpa hasil apapun. Utusan Khusus PBB untuk Suriah Staffan de Mistura menerangkan, kegagalan perundingan tersebut karena delegasi pemerintah Bashar al-Assad mengajukan prasyarat untuk melakukan pemibcaraan langsung dengan oposisi.

Prasyarat yang diajukan delegasi pemerintah adalah menuntut oposisi menarik diri dari Deklarasi Riyadh 2. Deklarasi itu merupakan sebuah pernyataan oposisi yang menolak Assad terlibat dalam proses transisi politik di negara tersebut.

Namun pada Januari lalu, kemajuan mulai tampak setelah perwakilan pemerintah dan oposisi Suriah menyepakati pembentukan komite konstitusional. Komite itu terdiri dari pemerintah, perwakilan oposisi dalam perundingan intra-Suriah di Jenewa, pakar Suriah, masyarakat sipil, dan para pemimpin suku.

Menurut de Mistura penyusunan konstitusi baru Suriah memang bukan pekerjaan mudah, tapi  itu harus dituntaskan. Terkait hal itu, menurut de Mistura, perwakilan Suriah membutuhkan tempat yang aman dan netral untuk menyusun konstitusi. “Semua rakyat Suriah saat ini membutuhkan gencatan senjata yang berkelanjutan, akses kemanusiaan penuh, dan pembebasan tahanan,” ucapnya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement