REPUBLIKA.CO.ID, LONDON -- Menteri Luar Negeri Inggris Jeremy Hunt akan mengunjungi Myanmar. Rencana kunjungannya berkaitan dengan terbitnya laporan tim misi pencari fakta PBB yang medokumentasikan kekerasan terhadap etnis Rohinga di Rakhine.
Hunt mengaku sangat terganggu atas isi laporan tim misi pencari fakta PBB di Myanmar. “Sangat mengganggu membaca laporan PBB tentang kejahatan terhadap orang-orang Rohingya. Tidak boleh ada tempat persembunyian bagi mereka yang melakukan kekejaman semacam ini,” katanya melalui akun Twitter pribadinya pada Senin (27/8).
Ia memutuskan untuk berkunjung ke Myanmar. “Telah memutuskan untuk mengunjungi Burma (Myanmar) untuk mencari jawaban pada kesempatan paling awal,” ucap Hunt.
Menteri Inggris untuk Asia dan Pasifik Mark Field turut merespons terbitnya laporan misi pencari fakta PBB di Myanmar. Menurutnya, laporan tersebut menegaskan militer Myanmar patut bertanggung jawab atas kejahatan yang dilakukannya terhadap Rohingya.
“Siapa pun seperti saya yang telah terlibat langsung dalam krisis yang mengerikan ini, atau telah berbicara kepada pengungsi Rohingya, tahu militer Burma harus disalahkan atas pelanggaran hak asasi manusia (HAM) yang mengerikan seperti perkosaan yang meluas serta pembunuhan terhadap orang-orang Rohingya,” kata Field dalam sebuah pernyataan.
Baca juga, Aung San Suu Kyi: Tidak Ada Pembersihan Etnis Rohingya.
Ia mengatakan Pemerintah Inggris akan mendiskusikan pilihan untuk membawa laporan tim misi pencari fakta di Myanmar ke Dewan Keamanan PBB. Hal itu dilakukan setelah tim misi pencari fakta membuat presentasi terakhirnya di Dewan HAM PBB pada September.
Laporan yang diterbitkan tim misi pencari fakta PBB telah menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, diadili di ICC atas genosida yang dilakukan terhadap Rohingya.
Laporan menyebut apa yang dilakukan Tatmadaw (pasukan keamanan Myanmar) dalam menghadapi ancaman keamanan di Rakhine sangat tidak proporsional. Dalam konteks ini, Tatmadaw bertanggung jawab atas pembunuhan dan pemerkosaan yang dialami Rohingya.
Sejak Agustus 2017, lebih dari setengah juta etnis Rohingya melarikan diri dari Rakhine ke Bangladesh. Mereka kabur guna menghindari kebrutalan militer Myanmar yang menggelar operasi pemburuan terhadap gerilyawan Arakan Rohingya Salvation Army. Dalam operasinya, militer Myanmar turut menyerang dan menumpas warga sipil di daerah tersebut.
Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan tim Joint Wroking Group. Namun pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.
Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.