Rabu 29 Aug 2018 16:31 WIB

Iran Tangkap Warga Berkewarganegaraan Ganda

Warga berkewarganegaraan ganda ditangkap dengan tuduhan mata-mata

Rep: Kamran Dikarma/ Red: Nur Aini
Aksi spionase (ilustrasi).
Foto: gadabimacreative.blogspot.com
Aksi spionase (ilustrasi).

REPUBLIKA.CO.ID, TEHERAN -- Menteri Intelijen Iran Mahmoud Alavi mengatakan telah menangkap puluhan mata-mata yang bekerja di sejumlah lembaga negara tersebut. Namun ia tak mengungkapkan kapan penangkapan itu terjadi dan kepada negara mana mereka bekerja.

"Unit antispionase dari Kementerian Intelijen telah berhasil mengidentifikasi dan menangkap puluhan mata-mata di berbagai badan pemerintah," kata Alavi pada Selasa (28/8).

Kendati tak mengungkap secara terperinci tentang penangkapan tersebut, Alavi mengindikasi bahwa kebanyakan dari mereka yang dibekuk berkewarganegaraan ganda. "Saya berulang kali meminta orang-orang memberitahu kami jika mereka tahu ada dua kewarganegaraan," katanya.

Penangkapan terhadap orang-orang berkewarganegaraan ganda telah meningkat sejak pemimpin tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menyebut terdapat infiltasi agen-agen Barat di lembaga-lembaga strategis Iran. Pada 2017, Reuters melaporkan Garda Revolusi Iran telah menangkap setidaknya 30 orang berkewarganegaraan ganda dalam beberapa tahun terakhir. Sebagian besar dari mereka ditangkap atas tuduhan spionase.

Iran tidak mengakui kewarganegaraan ganda dan tidak secara rutin mengumumkan penangkapan atau dakwaan terhadap mereka. Hak mereka atas bantuan konsuler dalam Konvensi Wina diabaikan.

Saat ini, Iran sedang terlibat ketegangan dengan Amerika Serikat (AS). Washington telah menjatuhkan sanksi ekonomi baru pada awal Agustus setelah Iran menolak merundingkan kembali kesepakatan nuklir yang telah tercapai pada 2015.

Sanksi gelombang pertama itu menargetkan sektor keuangan, industri otomotif, dan perdagangan logam mulia Iran. Sanksi AS seketika memukul perekonomian Teheran.

Pada Selasa kemarin, parlemen Iran memanggil Presiden Iran Hassan Rouhani untuk menjelaskan tentang keterpurukan ekonomi yang sedang dihadapi negara tersebut. Hal itu merupakan pertama kalinya Rouhani menghadap parlemen sejak menjabat pada Agustus 2013.

Dalam kesempatan itu, anggota parlemen Iran menanyakan lima aspek terkait ambruknya perekonomian Iran, yakni persentase pengangguran, pertumbuhan ekonomi yang lambat, jatuhnya nilai mata uang rial, penyelundupan lintas batas, dan kurangnya akses bank-bank Iran ke layanan keuangan global.

Dalam keterangannya, Rouhani mengatakan gejolak ekonomi yang dialami Iran merupakan buah dari konspirasi AS. Ia meminta parlemen mendukung pemerintahannya. "Ada kelompok anti-Iran yang duduk di Gedung Putih yang merencanakan konspirasi melawan kita. Tapi bersama kita akan mengatasi fase ini," katanya dikutip laman Aljazirah.

Rouhani pun menolak bila saat ini Iran disebut menghadapi krisis "Seharusnya tidak dikatakan kita menghadapi krisis. Tidak ada krisis. Jika dikatakan ada, itu akan menjadi masalah dan ancaman bagi masyarakat," ucapnya.

Namun, mayoritas anggota parlemen Iran menolak alasan-alasan yang dikemukakan Rouhani tentang jatuhnya perekonomian negara itu. Satu-satunya jawaban yang mereka terima adalah perihal sanksi perbankan internasional. Sebab, mereka menyadari hal itu di luar kendali pemerintah.

Seusai penjelasan Rouhani, parlemen Iran memutuskan menggelar voting untuk menentukan apakah masalah itu harus dirujuk ke pengadilan guna dipertimbangkan. Setelah voting dilakukan, hasilnya mayoritas parlemen sepakat membawa masalah keterpurukan ekonomi itu ke pengadilan.

Hal itu akan membuat posisi Rouhani tidak aman. Pengadilan dapat memutuskan bahwa dia melanggar hukum dan parlemen memiliki kekuatan untuk mendakwanya.

sumber : Reuters
Advertisement
Berita Lainnya
Advertisement
Advertisement
Advertisement