REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Wakil Ketua Badan Kerja sama Antar- Parlemen (BKSAP), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI, Rofi' Munawar, mendesak Pemerintah Myanmar untuk menjalankan rekomendasi dari tim pencari fakta Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) terkait tragedi di Rakhine atas etnis Rohingya.
"Laporan dari tim independen PBB harus ditindaklanjuti oleh komunitas internasional guna menekan Pemerintah Myanmar atas kejahatan kemanusiaan yang telah mereka lakukan terhadap etnis Rohingya," kata Rofi Munawar dalam pernyataan melalui layanan pesan singkat yang diterima di Jakarta, Senin (3/9).
Rofi juga mendorong PBB dan ASEAN menanggapi temuan itu sebagai landasan untuk membawa para pelaku kejahatan ke meja pengadilan. Secara normatif, Piagam PBB, terutama pada Bab VI dan VII, mewajibkan negara-negara anggotanya untuk melakukan intervensi kemanusiaan apabila suatu kelompok terancam bahaya genosida, kejahatan perang, pembersihan etnis, serta kejahatan kemanusiaan (Responsibility to Protect).
Sebagaimana temuan PBB, kejadian yang menimpa etnis Rohingya di Myanmar telah memenuhi kondisi-kondisi tersebut. "Pemerintah Indonesia, baik melalui ASEAN maupun PBB, dapat memberikan tekanan terhadap Pemerintah Myanmar untuk mendesak pelaku kejahatan terhadap etnis Rohingya untuk mundur dan diadili di Mahkamah Kejahatan Internasional," kata Rofi.
Menurut dia, sebagai langkah awal, komunitas internasional dapat mendesak para petinggi militer Myanmar untuk mundur dari jabatannya. Mereka dinilai telah melakukan pelanggaran kemanusiaan.
Pembersihan etnis merupakan pelanggaran hukum yang sangat serius. Beberapa pelaku kejahatan kemanusiaan yang pernah diadili adalah Slobodan Milosevic dari Yugoslavia dan Slobodan Praljak dari Bosnia.
"Indonesia sebagai anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB yang mulai efektif menjabat pada 2019 mendatang, juga seharusnya dapat lebih berperan dalam menanggulangi kejahatan kemanusiaan terhadap etnis Rohingya," kata legislator asal Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut.
Namun demikian, Pemerintah Myanmar menolak laporan dari tim gabungan pencari fakta PBB. Laporan itu menyatakan bahwa terdapat enam jendral yang bertanggung jawab atas perbuatan genosida dan pelanggaran hak asasi manusia terhadap etnis Rohingya di negara tersebut.
Pemerintah Myanmar menyatakan bahwa laporan ini bersifat sepihak dan bertujuan menekan negaranya. Pemerintah Myanmar menegaskan bahwa operasi tersebut bertujuan menghadapi ancaman pemberontakan dan mencari sasaran militan.
Laporan tim independen PBB yang dirilis pada Senin (27/8) menyebutkan bahwa enam jendral yang dimaksud adalah Panglima Tatmadaw, Jenderal Min Aung Hlaing, Deputi Panglima Jenderal Soe Win, dan Komandan Biro Operasi Khusus 3, Letnan Jenderal Aung Kyaw Zaw.
Tim investigasi independen juga menyebut nama Komandan Komando Militer Regional Barat, Mayor Jenderal Maung Maung Soe, Komandan Divisi Infantri Ringan 33, Brigadir Jenderal Aung-Aung, dan Komandan Divisi Infantri Ringan 99, Brigadir Jenderal Than Oo. Tim gabungan dari PBB juga merekomendasikan Jendral Min Aung Hlaing untuk mengundurkan diri dari jabatannya.
Laporan itu juga menyebutkan bahwa taktik militer Myanmar tidak berimbang dibandingkan dengan ancaman yang dihadapi. Hal tersebut terlihat dari perlakuan kasar terhadap etnis minoritas Rohingya. Tim gabungan PBB yang diketuai oleh Marzuki Darusman ini juga mengkritik Aung San Suu Kyi yang tidak menggunakan posisi "de facto" sebagai kepala pemerintahan untuk mencegah kejadian di Rakhine.
Oleh sebab itu, tim itu juga merekomendasikan pengajuan kasus pelanggaran kemanusiaan tersebut ke Pegadilan Kriminal Internasional (International Criminal Court/ ICC) agar menyeret para pelaku ke meja pengadilan. Laporan yang lebih komprehensif akan diberikan oleh tim tersebut pada 18 September 2018.