REPUBLIKA.CO.ID, YANGON -- Militer Myanmar mengeluarkan permintaan maaf pada Senin (3/9) dan mengakui dua foto yang diterbitkan dalam buku miliknya bukan foto asli.
Surat kabar resmi militer, harian Myawady, mengeluarkan pernyataan pada Senin dari divisi penerbitannya yang menghasilkan buku Myanmar Politics and Tatmadaw: Part I. Penerbit meminta maaf atas dua foto.
"Ditemukan dua foto itu salah diterbitkan. Kami dengan tulus meminta maaf kepada para pembaca dan pemilik foto untuk kesalahan itu," kata kelompok penerbitan dalam sebuah pernyataan.
Ini merujuk pada foto dari Tanzania dan satu lagi foto yang menunjukkan korban perang kemerdekaan Bangladesh 1971. Myawady, dalam pernyataannya, tidak menyebutkan perubahan gambar.
Juru bicara pemerintah Myanmar Zaw Htay dan juru bicara militer Mayor Jenderal Tun Tun Nyi tidak dapat dihubungi untuk dimintai komentar. Jumat lalu, kantor berita Reuters memberitakan tentara Myanmar menerbitkan sebuah buku yang menceritakan tentang krisis Rohingya. Dalam buku itu terdapat foto-foto yang menggambarkan Rohingya.
Sebuah foto hitam-putih menunjukkan seorang lelaki berdiri di atas dua mayat, sambil memegang alat pertanian. "Bengali membunuh etnis lokal secara brutal", tulis keterangan di bawah foto.
Foto itu muncul di bagian buku yang mencakup kerusuhan etnis di Myanmar pada 1940-an. Keterangan foto menyebutkan umat Buddha dibunuh oleh Rohingya. Rohingya disebut sebagai "Bengali" untuk menyiratkan mereka adalah imigran gelap.
Reuters melakukan pemeriksaan untuk mengecek keaslian foto itu. Dari hasil pemeriksaan diketahui foto itu diambil selama perang kemerdekaan Bangladesh 1971. Saat itu ratusan ribu orang Bangladesh dibunuh oleh pasukan Pakistan.
Ini adalah salah satu dari tiga foto yang muncul dalam buku itu. Buku diterbitkan pada Juli oleh departemen militer hubungan masyarakat Myanmar. Foto itu telah disalahpahami sebagai gambar arsip dari negara bagian barat Rakhine.
Bahkan, Reuters menemukan dua foto aslinya diambil di Bangladesh dan Tanzania. Foto ketiga diberi label palsu karena menggambarkan Rohingya memasuki Myanmar dari Bangladesh. Padahal kenyataannya para migran meninggalkan negara itu.