REPUBLIKA.CO.ID, SANAA -- Kekhawatiran mengenai gelombang kolera ketiga yang mematikan meningkat di Yaman. Rumah sakit umum di Sana'a menerima lebih dari 60 kasus dugaan wabah tersebut setiap hari, yang sebagian diderita anak kecil.
Berbagai lembaga kemanusiaan PBB telah mencatat lebih dari 1,1 juta kasus dugaan dan lebih dari 2.300 kematian yang berkaitan dengan kolera sejak April tahun lalu. PBB menyatakan hal itu sebagai "wabah terbesar dalam sejarah".
Rumah Sakit Ibu dan Anak As-Sabeen di Sana'a dipenuhi suara erangan dan tangisan anak-anak dan ibu yang menderita penyakit tersebut. Kondisi itu menyuarakan tanda bahaya mengenai tragedi besar kemanusiaan di negeri tersebut pada era modern.
Lujain Muammar telah tergeletak di ranjang rumah sakit di ruang perawatan intensif bagian pengobatan kolera selama beberapa hari.
"Anak perempuan itu mulai menangis setelah kami makan siang di satu rumah kerabat kami ... lalu ia terus menerus muntah dan diare berair," kata Fatima, ibu anak perempuan yang berusia enam tahun tersebut, kepada Xinhua.
"Kedua kakinya kemudian kram dan ia koma ... kami segera membawa dia ke sini," ibu itu mengenang, sambil duduk di sebelah Lujain.
Ayah Lujain, Muammar, adalah seorang pegawai pemerintah dan mengandalkan gaji bulanannya sampai perang saudara mematikan meletus pada Maret 2015. Sejak itu ia kehilangan pekerjaan seperti ratusan ribu pegawai negeri Yaman yang kebanyakan tak menerima gaji akibat perang.
Dokter yang merawat Lujain, Ismail Al-Mansour, mengatakan anak perempuan tersebut sangat terinfeksi kolera dan sayangnya, ia juga kekurangan gizi.
"Lujain memerlukan pengobatan jangka-panjang akibat kolera dan gizi buruk dan ia harus tetap dirawat di rumah sakit di bawah pengawasan ketat medis," kata dokter tersebut.
Pada saat itu, Tahir Ar-Refaei bergegas di koridor rumah sakit ke bagian perawatan pasien kolera, dengan membopong istrinya. "Tolong!" kata Ar-Refaei kepada dokter saat ia menaruh istrinya di ranjang, dan beberapa dokter segera mulai memeriksa dia.
"Ia telah menderita diare parah dan terus muntah sepanjang malam, jadi saya segera membawa dia ke sini," kata Ar-Refaei.
Ia mengatakan kepada Xinhua bahwa seorang perempuan keluarganya meninggal empat hari sebelumnya akibat infeksi diare. Keluarga tersebut tidak membawa dia ke rumah sakit dan wanita itu meninggal setelah penyakit tersebut membuat dia kekurangan cairan dan gagal ginjal.
Hampir semua ranjang di ruang suite rumah sakit itu diisi oleh anak-anak dan anak perempuan. Dokter Adel Al-Almani, Kepala Bagian Perawatan Pasien Kolera, mengatakan kepada Xinhua bahwa bagian tersebut menerima rata-rata 60 sampai 70 pasien dugaan kolera setiap hari, kebanyakan anak-anak yang berusia di bawah tujuh tahun.
"Saya memperhatikan jumlah kasus infeksi meningkat belakangan ini," kata dokter Al-Almani.
Hampir 25 juta warga Yaman telah tak memperoleh akses ke air minum bersih sejak perang meletus. Terlebih lagi, sejak itu telah menjadi pemandangan umum untuk melihat tumpukan sampah yang berair hijau dan bau bertumpuk di jalan di seluruh permukiman, sehingga menyebabkan penyebaran penyakit mematikan utama.
Pekan lalu, Peter Salama, Wakil Direktur Jenderal Reaksi dan Kesiapan Darurat di Organisasi Kesehatan Dunia, memperingatkan negara yang dicabik perang itu masih rentan terhadap penyebaran wabah penyakit. "Kami menghadapi dua gelombang utama wabah kolera dalam beberapa tahun belakangan ini, dan sayangnya, data kecenderungan tersebut yang telah kami lihat ... menunjukkan bahwa kita mungkin berada di puncak gelombang besar ketiga wabah kolera di Yaman," kata Salama.