REPUBLIKA.CO.ID, DAMASKUS -- Pasukan pemerintah Suriah yang didukung Rusia telah meningkatkan pemboman terhadap wilayah yang dikuasai pemberontak di Suriah barat laut. Menurut aktivis lokal serangan ini menewaskan sedikitnya enam warga sipil, termasuk satu anak.
Dilansir Aljazirah, Ahad (9/9), serangan udara dan penembakan pada Sabtu (8/9) terjadi sehari setelah Rusia menolak seruan Turki untuk gencatan senjata di provinsi Idlib, Suriah. Serangan besar pemerintah yang ditujukan untuk merebut kembali benteng pemberontak terakhir di negara itu tampaknya akan segera terjadi.
Serangan itu menargetkan daerah-daerah di provinsi Idlib selatan dan di utara provinsi tetangga Hama. Ini merupakan eskalasi terbesar selama sepekan terakhir. Satu rumah sakit di desa Hass di selatan Idlib dihancurkan oleh bom yang jatuh dari helikopter.
Menurut Abd al-Kareem al-Rahmoun, seorang perwakilan dari White Helmets, kota Qalaat al-Madiq di provinsi Hama utara ditargetkan dengan lebih dari 150 granat. White Helmets merupakan sebuah kelompok sukarelawan yang beroperasi di wilayah Suriah yang dikuasai pemberontak
Pemboman itu menewaskan dua orang dan melukai lima lainnya, termasuk dua anak. "Setidaknya 26 orang di wilayah yang dikuasai pemberontak telah tewas sejak awal bulan," kata White Helmets.
Fraksi pemberontak di provinsi Hama utara menanggapi serangan Sabtu dengan tembakan roket. Mereka juga menyerang daerah yang berada di bawah kendali pemerintah, termasuk kota Salhab. Menurut Observatorium Suriah yang berbasis di Inggris untuk Hak Asasi Manusia (SOHR), tidak ada korban yang dilaporkan.
Pada Jumat (7/9), SOHR melaporkan bahwa penembakan pemberontak menewaskan 10 orang, termasuk lima anak-anak di kota mayoritas berpenduduk Kristen di Maharda di provinsi Hama barat. Mohamad Haj Ali, komandan Divisi First Coastal Division, yang merupakan bagian dari formasi oposisi moderat al-Jabha al-Wataniya lil-Tahrir (NLF), mengatakan meskipun terjadi eskalasi namun pertempuran Idlib belum dimulai.
Dalam KTT di ibukota Iran, Turki yang mendukung kelompok-kelompok pemberontak tertentu di Idlib dan sekutu Assad, Rusia dan Iran gagal mencapai kesepakatan mengenai nasib provinsi, yang dihuni sekitar tiga juta orang. Setengahnya adalah pengungsi internal. Permintaan Presiden Recep Tayyip Erdogan untuk penghentian permusuhan telah ditolak oleh Presiden Rusia Rusia, Vladimir Putin.
Juru bicara NFL, Naji Abu Hadhifa, mengatakan tidak ada yang berubah setelah KTT Tehran, yang menegaskan harapan rendah oposisi bersenjata. Menurut Hadhifa, penembakan yang intensif terhadap Idlib selatan dan provinsi Hama utara ditujukan untuk menakut-nakuti penduduk sipil.
Dia menambahkan, oposisi bersenjata telah meningkatkan persiapan untuk menghadapi serangan pemerintah skala besar, dan bahkan serangan kimia. Hadhifa juga menuduh Rusia berusaha menabur perpecahan dalam oposisi dengan "berbohong" bahwa ada beberapa faksi yang menginginkan rekonsiliasi dan berusaha menjalin kontak dengan pemerintah Suriah atau Moskow.