REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW – Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan dan Presiden Rusia Vladimir Putin sepakat membentuk zona bebas senjata atau demiliterisasi di Idlib. Pembentukan zona itu akan disertai dengan penarikan kelompok-kelompok bersenjata, termasuk Front al-Nusra.
“Kami telah sepakat tentang pembentukan zona bebas senjata antara daerah yang dikuasai oposisi dan yang dikendalikan rezim (Bashar al-Assad),” kata Erdogan dalam konferensi pers seusai bertemu Putin di Laut Hitam, Rusia, Senin (17/9), dikutip Anadolu Agency.
Zona demiliterisasi akan dibentuk di barat laut Idlib. Putin mengatakan semua senjata berat harus ditarik dari zona itu pada 10 Oktober. Itu termasuk tank, peluncur roket, senjata, dan mortir dari semua kelompok oposisi.
Erdogan mengungkapkan, Rusia dan Turki akan melakukan patroli bersama di sepanjang perbatasan zona itu. Turki, kata dia, juga akan memperkuat titik-titik observasi di zona deeskalasi Idlib. “Oposisi akan tetap di daerah-daerah di mana mereka sudah hadir. Kami akan memastikan kelompok-kelompok radikal tidak akan beroperasi di daerah tersebut,” ujar Erdogan.
Pada pertemuan itu, Erdogan dan Putin pun menandatangani nota kesepahaman yang menyerukan stabilisasi situasi di zona deeskalasi Idlib, yakni dengan menerapkan pelarangan agresi militer. “Saya percaya bahwa dengan memorandum ini, kami telah mencegah krisis kemanusiaan yang besar di Idlib,” ucap Erdogan.
Turki dan Rusia sepakat untuk mengambil tindakan yang diperlukan guna melindungi zona deeskalasi. “Kami akan bersama-sama memastikan deteksi dan pencegahan provokasi kedua-ketiga pihak dan pelanggaran terhadap memorandum yang disepakati ini,” ujar Erdogan.
Sementara, Putin menyatakan Rusia dan Turki telah menegaskan kembali tekadnya memerangi terorisme di Suriah dalam segala bentuknya. “Pelaksanaan praktis dari langkah-langkah yang direncanakan akan memberikan dorongan tambahan untuk proses penyelesaian politik konflik Suriah, mempercepat kerja di platform Jenewa, dan berkontribusi pada kembalinya perdamaian ke tanah Suriah,” kata Putin.
Ia mengatakan pendekatan yang telah disepakati dengan Turki didukung oleh Pemerintah Suriah. Putin menyebut proses konsultasi dengan Damaskus dapat dilakukan dalam waktu dekat.
Juru bicara Sekretaris Jenderal PBB Stephane Dujarric mengapresiasi pertemuan antara Putin dan Erdogan. Ia mengatakan pertemuan tersebut sangat penting menyusul eskalasi yang terjadi di Idlib. Menurutnya, pembahasan yang telah dilakukan keduanya akan membawa dampak positif bagi warga sipil Suriah, terutama mereka yang tinggal di Idlib.
Sementara penasihat senior untuk Utusan Khusus PBB untuk Suriah, Jan Egeland, mendesak Pemerintah Suriah menghormati kesepakatan yang telah dicapai Rusia dan Turki. Ia meminta Damaskus tidak memprovokasi pertumpahan darah dan memungkinkan akses kemanusiaan.
“Harapan pada akhirnya untuk 3 juta warga sipil Suriah di Idlib. Rusia dan Turki menyetujui rencana yang dapat mencegah perang mengerikan di antara orang-orang terlantar,” kata Egeland melalui akun Twitter pribadinya.
Serangan militer ke Idlib telah dimulai sejak sekitar dua pekan lalu. Idlib merupakan wilayah yang masih dikuasai kelompok pemberontak dan milisi. Suriah dan sekutunya Rusia serta Iran ingin merebut, kemudian menguasai kembali wilayah tersebut.
PBB melaporkan, sekitar 38 ribu orang telah mengungsi dari Idlib ke berbagai desa di dekat perbatasan Turki. Mereka memutuskan meninggalkan rumahnya karena khawatir pertempuran akan kian memburuk.
PBB telah memperingatkan, serangan ke Idlib, yang dihuni 2,9 juta orang, berpotensi menciptakan keadaan darurat kemanusiaan dalam skala yang belum terlihat sebelumnya. Jumlah warga Idlib yang membutuhkan bantuan, yang saat ini sudah cukup tinggi, akan melonjak tajam. Sementara itu, 800 ribu orang diperkirakan dapat mengungsi bila serangan besar-besaran terjadi di sana.