REPUBLIKA.CO.ID, JENEWA -- Penyelidik Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menilai, pasukan militer Myanmar harus disingkirkan dari urusan politik. Hal ini menyusul dugaan keterlibatan jenderal Myanmar dalam dugaan genosida pada minoritas Muslim Rohingya.
Penumpasan brutal oleh pasukan militer tahun lalu, memaksa lebih dari 700 ribu warga Rohingya melarikan diri ke wilayah perbatasan, Bangladesh. Protes keras dari para korban untuk memeroleh keadilan juga semakin meningkat.
Laporan penyelidikan berisi 444 halaman oleh PBB merinci kekerasan yang dilakukan miiter Myanmar hingga kini. Catatan itu mengatakan, pemimpin militer harus dirombak dan militer seharusnya tidak memiliki pengaruh lebih lanjut atas pemerintahan negara.
Militer Myanmar diketahui mendominasi negara yang mayoritas beragama Budha itu. Militer juga memegang seperempat kursi di parlemen dan mengendaikan tiga kementerian sehingga bisa membuat jaringan di beberapa bidang meski reformasi politik sudah dimulai pada 2011.
Analisis PBB selama 18 bulan dan lebih dari 850 wawancara mendalam digunakan untuk mendesak masyarakat internasional untuk menyelidiki petinggi militer terkait genosida, termasuk panglima tertinggi Ming Aung Hlaing.
Tim PBB mengatakan, taktik militer telah secara konsisten dan sangat tidak proporsional terhadap ancaman keamanan yang sebenarnya.
Laporan itu mengatakan, diperkirakan 10 ribu orang tewas dalam penumpasan dan dimungkinkan otaknya dari seorang tokoh konservatif. Peneliti mengatakan Tatmadaw harus direstrukturisasi dan prosesnya harus dimulai dengan mengganti kepemimpinan saat ini.