REPUBLIKA.CO.ID, Seorang ayah berinovasi membuat benteng terakhir melindungi keluarganya dari dampak pertempuran di Suriah. Hudhayfa al-Shahhad membuat masker gas dari gelas kertas dan kantong plastik untuk keluarganya.
Dilansir di Aljazirah pada Selasa (18/9), Shahhad yang tinggal di barat laut Provinsi Idlib menyiapkan diri terhadap kemungkinan penggunaan senjara kimia dalam perang. Ia berupaya menjaga keluarganya dari dampak terburuk serangan senjata kimia. Bahkan, Hudhayfa menggali gua di bawah rumahnya untuk berlindung dari pemboman.
“Saya belajar bagaimana membuatnya (masker gas) di Youtube,” kata Shahhad yang berprofesi sebagai polisi itu.
Pria berusia 27 tahun itu berharap masker oksigen buatannya bisa melindungi tiga anaknya yang masih kecil dari efek mematikan serangan gas. Shahhad memanfaatkan gelas kertas bergambar mangga, pisang, dan buah lainnya yang sudah diisi kasa medis. Selain kasa, ada sendok arang dan kapas di dalam masker gas. Tujuannya, agar pemakainya tidak menghirup debu hitam apa pun.
Shahhad menggunakan selotip mengeratkan bagian cangkir. Beberapa bagian dipotong agar sesuai lekuk hidung dan mulut. Terus terang, Shahhad sangat khawatir dengan laporan yang menyatakan pasukan pemerintah Suriah telah berkumpul di sekitar Idlib dalam beberapa pekan terakhir. Hal itu juga memicu kekhawatiran serangan udara dan darat yang akan terjadi untuk merebut benteng oposisi terakhir.
“Kami telah mendengar ancaman untuk mengebom kami dengan senjata kimia. Kami harus membuat masker ini untuk melindungi wanita dan anak-anak, berjaga-jaga,” ujar Hudhayfa.
Pemerintah Suriah telah berulang kali dituduh melakukan serangan kimia sepanjang tujuh tahun perang. Diduga gas yang digunakan termasuk klorin serta gas syaraf mematikan, sarin.
Pemerintah dan sekutunya, Rusia, secara konsisten membantah tuduhan-tuduhan itu. Mereka menyalahkan para pemberontak oposisi.
Namun penyelidik internasional telah menemukan, setidaknya dalam tiga kesempatan, Damaskus melepaskan senjata kimia kepada warga sipil. Tahun ini pada April, sebuah serangan kimia yang diduga terjadi di Kota Douma yang dikuasai pemberontak telah merenggut lebih dari 40 nyawa. Setelah serangan itu, pasukan yang setia kepada pemerintah dengan cepat mengambil kembali wilayah di bawah kesepakatan menyerah yang ditengahi Rusia.
Shahhad ingin memastikan dirinya dan keluarga dapat berlindung di bawah tanah dari serangan udara. Shahhad telah menyiapkan sejumlah makanan di toples, kasur, dan kursi dari batubata.
“Kami telah menggali tempat penampungan ini sejak 2012 karena pemboman itu, tetapi kami mulai bekerja lagi setelah ada ancaman,” kata Hudhayfa.
PBB telah memperingatkan serangan besar-besaran di provinsi barat laut yang menjadi rumah bagi tiga juta orang, dapat menyebabkan pertumpahan darah. Bahkan, serangan itu dapat menjadi bencana kemanusiaan terburuk di abad ke-21.