REPUBLIKA.CO.ID, DEN HAAG --Tragedi kemanusian Muslim Rohingya memasuki babak baru. Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) meluncurkan penyelidikan awal terhadap Myanmar pada Selasa (18/9). Penyelidikan berkaitan dengan kejahatan dan dugaan genosida yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya.
Jaksa Penuntut ICC Fatou Bensouda mengatakan, pada tahap ini pihaknya akan melakukan pemeriksaan pendahuluan terkait pemindahan paksa orang-orang Rohingya, termasuk perampasan hak-hak fundamental mereka. Kasus seperti pembunuhan, kekerasan seksual, penghancuran, dan penjarahan yang dialami Rohingya turut tercakup dalam pemeriksaan.
“Pemeriksaan pendahuluan bukan investigasi, tapi proses pemeriksaan informasi yang tersedia untuk mencapai penentuan sepenuhnya informasi tentang apakah ada dasar yang masuk akal untuk melanjutkan penyelidikan sesuai dengan kriteria yang ditetapkan Statuta Roma,” kata Bensouda seperti dikutip laman Anadolu Agency.
Baca juga, Generasi Muslim Rohingya yang Terancam Hilang.
Ia mengatakan, Myanmar bukan negara anggota di ICC. Namun Bangladesh, tempat mengungsinya ratusan ribu etnis Rohingya dari negara bagian Rakhine, adalah negara pihak ICC. “Karena itu pengadilan dapat melaksanakan yurisdiksi atas perilaku, sejauh itu sebagian terjadi di wilayah Bangladesh,” ujar Bensouda.
Awal bulan ini pengadilan memutuskan bahwa mereka memiliki yurisdiksi untuk menyelidiki kejahatan terhadap Muslim Rohingya di negara bagian Rakhine.
Berbagai laporan tentang kejahatan yang dialami etnis Rohingya telah diterbitkan. The Ontario International Agency (OIDA), misalnya, telah memuat hal itu dalam laporannya yang berjudul “Forced Migration of Rohingya: The Untold Experience”.
Dalam laporan itu, OIDA menyebut, sejak 25 Agustus 2017, hampir 24 ribu Rohingya dibunuh pasukan keamanan Myanmar. Lebih dari 114 ribu orang lainnya mengalami penganiayaan dan pemukulan. Kemudian sekitar 18 ribu wanita Rohingya telah menjadi korban pemerkosaan.
Lembaga hak asasi manusia (HAM) Amnesty International turut mendokumentasikan kejahatan tersebut. Mereka mengatakan, penganiayaan dan kejahatan yang dialami Rohingya telah menyebabkan terjadinya gelombang pengungsi. Lebih dari 750 ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak kekerasan meletus pada Agustus tahun lalu.
Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB juga telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk Panglima Tertinggi Min Aung Hlaing, diadili di ICC.
Saat ini lebih dari setengah juta etnis Rohingya masih mengungsi di Bangladesh. Mereka mengandalkan bantuan kemanusiaan untuk bertahan hidup. Pada November 2017, Myanmar dan Bangladesh telah menyepakati proses repatriasi pengungsi dan pembentukan Joint Working Group. Namun pelaksanaan kesepakatan ini belum optimal. Cukup banyak pengungsi Rohingya di Bangladesh yang enggan kembali ke Rakhine.
Mereka mengaku masih trauma atas kejadian yang menimpanya pada Agustus tahun lalu. Selain itu, kesepakatan repatriasi pun tak menyinggung perihal jaminan keamanan dan keselamatan bagi warga Rohingya yang kembali.