REPUBLIKA.CO.ID, BEIRUT -- Pemimpin Hizbullah Sayyid Hassan Nasrallah pada Rabu (19/9) mengatakan kelompoknya akan mempertahankan kehadiran militernya di Suriah sampai pemberitahuan lebih lanjut. Ia memuji kesepakatan Rusia-Turki atas Idlib sebagai langkah menuju solusi politik yang lebih luas.
Namun, Sayyid Hassan Nasrallah mengindikasikan jumlah pasukan Hizbullah akan berkurang karena kondisi di Suriah yang semakin lebih tenang.
"Kami akan tetap di sana (di Suriah) bahkan setelah permukiman di Idlib. Kehadiran kami di sana terkait dengan kebutuhan dan persetujuan dari kepemimpinan Suriah," katanya dalam pidato yang disiarkan televisi kepada ratusan pendukungnya.
Ia mengatakan, kurangnya ancaman di Suriah secara alami akan mempengaruhi jumlah pasukan Hizbullah yang berada di wilayah itu. "Suriah sedang menuju dalam ketenangan yang belum pernah terjadi sebelumnya," katanya.
Hizbullah telah memberikan dukungan penting kepada militer Suriah dalam perang yang berlangsung tujuh tahun. Mereka membantu memperoleh kembali beberapa wilayah Suriah. "Kami akan tinggal di sana sampai pemberitahuan lebih lanjut," kata Nasrallah.
Nasrallah memuji hasil diplomasi Iran, Rusia, dan Turki untuk menghindari serangan militer di Idlib yang dapat menyebabkan bencana kemanusiaan. Pada Senin, Rusia dan Turki setuju untuk mengesampingkan solusi militer di wilayah Idlib. Mereka mendukung menegakkan zona demiliterisasi baru pada pertengahan bulan depan.
"Hasil (dari upaya diplomatik) adalah baik dan masuk akal tetapi tergantung pada hasil," kata Nasrallah. Ia menggambarkan perjanjian tersebut sebagai langkah untuk mencapai solusi politik terhadap konflik.
Rusia, pendukung terbesar dari Presiden Suriah Bashar al-Assad dalam melawan pemberontak, telah mempersiapkan serangan di kota Idlib, yang dikendalikan oleh pemberontak. PBB telah memperingatkan serangan semacam itu akan menciptakan bencana kemanusiaan di provinsi Idlib, tempat sekitar 3 juta orang tinggal. Assad telah memulihkan daerah lain yang pernah dikuasai pemberontak, dengan dukungan militer dari Iran dan Rusia.