REPUBLIKA.CO.ID, MOSKOW -- Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov mengatakan kesepakatan Rusia dan Turki memberlakukan demiliterisasi Idlib, Suriah, sebagai langkah yang diperlukan. Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Turki Recep Tayyep Erdogan telah bersepakat menciptakan zona demiliterisasi di sekitar Idlib, Suriah.
Kesepakatan tersebut untuk mencegah serangan militer di provinsi yang dikuasai para pemberontak. Rusia akan membentuk zona penyangga sepanjang 15 hingga 25 kilometer, yang mulai berlaku pada 15 Oktober mendatang.
"Adapun kesepakatan Rusia-Turki di Idlib, ditunjukan terutama untuk memberantas ancaman terorisme, ini langkah menengah, karena hanya baru membangun wilayah demiliterisasi," kata Lavrov, seperti dilansir dari Sputnik, Jumat (21/9).
Menurut Lavrov, langkah ini diperlukan untuk menurunkan tensi ketegangan di Idlib. Mencegah penembakan terhadap pasukan Suriah dan pangkalan militer Rusia di Hymeymim.
Lavrov mengatakan Kelompok Nusra harus meninggalkan zona demiliterisasi pada pertengahan Oktober. "Seluruh senjata berat harus disingkirkan dari sana," tambah Lavrov.
Idlib menjadi satu-satu wilayah yang masih dikuasai oleh pemberontak anti-pemerintah Suriah. Pemberontak-pemberontak tersebut juga berafiliasi dengan kelompok teroris Alqaidah.
Dalam kesempatan yang sama Lavrov juga menyampaikan perkembangan tentang sanksi terbaru yang diberikan Amerika. AS memberikan sanksi kepada Rusia dan negara yang dipimpin Donald Trump tersebut juga memasukan sejumlah nama dan entitas Rusia ke dalam daftar hitam.
Sanksi ini diberikan setelah Cina membeli peralatan militer dan pesawat jet Rusia. Menurut Lavrov sanksi ini menjadi bukti AS tidak berkompetisi dengan moral dan jahat.
"Adapun tentang sanksi Amerika yang baru terhadap entitas legal dan individu Rusia, kami sudah tidak lagi terkejut, terutama dengan yang berhubungan dengan Sukhoi, pabrik di Komsomolsk-on-Amur, sanksi ini, tentu sebuah manifestasi lain atas kompetisi yang tak bermoral," kata Lavrov.