REPUBLIKA.CO.ID, WASHINGTON -- Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengatakan investigasi yang dilakukannya terkait krisis Rohingya tidak ditujukan untuk menentukan apakah terjadi genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan. Kendati demikian, mereka yang terlibat tetap dapat dimintai pertanggungjawaban.
"Tidak ada penilaian hukum yang dinyatakan di dalamnya karena itu bukan poin dari laporan tersebut," kata Wakil Menteri Luar Negeri AS John Sullivan ketika ditanya mengapa laporan yang dirilis Departemen Luar Negeri AS tidak menggunakan kata-kata "genosida" atau "kejahatan terhadap kemanusiaan".
Kendati dalam laporan tersebut tak digunakan kata-kata "genosida" dan "kejahatan terhadap kemanusiaan", Sullivan mengatakan, mereka yang terlibat dalam aksi kekerasan terhadap Rohingya tetap dapat dimintai pertanggungjawaban.
"Kami berupaya untuk meminta pertanggungjawaban mereka, termasuk penilaian seperti yang Anda tawarkan, mencirikannya sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan atau genosida," ujar Sullivan.
Awal pekan ini, Departemen Luar Negeri AS menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya di negara bagian Rakhine, Myanmar. Laporan tersebut disusun berdasarkan hasil wawancara lebih dari seribu etnis Rohingya yang mengungsi di Bangladesh.
Dalam laporan itu, AS menyebut kekerasan terhadap etnis Rohingya dilakukan secara terkoordinasi dan terencana. Selain itu, laporan itu menyatakan kekerasan terhadap Rohingya sengaja dilakukan untuk mengusir mereka dari Myanmar. "Survei ini mengungkapkan bahwa kekerasan di Rakhine Utara sangat ekstrem, berskala besar, meluas, dan tampaknya diarahkan untuk meneror dan mengusir penduduk Rohingya," kata laporan tersebut.
Walaupun tak secara eksplisit menyatakan apakah yang dilakukan militer Myanmar merupakan genosida atau kejahatan terhadap kemanusiaan, tapi laporan itu memperkuat laporan-laporan tentang krisis Rohingya.
Tim Misi Pencari Fakta Independen PBB telah menerbitkan laporan tentang krisis Rohingya yang terjadi di Rakhine pada akhir Agustus lalu. Dalam laporan itu, disebut bahwa apa yang dilakukan militer Myanmar terhadap etnis Rohingya mengarah pada tindakan genosida. Laporan itu menyerukan agar para pejabat tinggi militer Myanmar, termasuk panglima tertinggi militer Jenderal Min Aung Hlaing, diadili di Mahkamah Pidana Internasional (ICC).
Pada 18 September lalu, ICC telah meluncurkan penyelidikan awal terhadap Myanmar. Jaksa Penuntut ICC Fatou Bensouda mengatakan, pada tahap ini pihaknya akan melakukan pemeriksaan pendahuluan terkait pemindahan paksa orang-orang Rohingya, termasuk perampasan hak-hak fundamental mereka. Kasus seperti pembunuhan, kekerasan seksual, penghancuran, dan penjarahan yang dialami Rohingya turut tercakup dalam pemeriksaan.
Selain laporan Departemen Luar Negeri AS dan PBB, kejahatan terhadap etnis Rohingya juga telah didokumentasikan organisasi hak asasi manusia (HAM) internasional. The Ontario International Agency (OIDA), misalnya, telah memuat hal itu dalam laporannya yang berjudul “Forced Migration of Rohingya: The Untold Experience”.
Dalam laporan itu, OIDA menyebut, sejak 25 Agustus 2017, hampir 24 ribu Rohingya dibunuh pasukan keamanan Myanmar. Lebih dari 114 ribu orang lainnya mengalami penganiayaan dan pemukulan. Kemudian sekitar 18 ribu perempuan Rohingya telah menjadi korban pemerkosaan.
Kelompok HAM Amnesty International turut mendokumentasikan kejahatan tersebut. Mereka mengatakan, penganiayaan dan kejahatan yang dialami Rohingya telah menyebabkan terjadinya gelombang pengungsi. Lebih dari 750 ribu Rohingya melarikan diri ke Bangladesh sejak kekerasan meletus pada Agustus tahun lalu.
Baca: PBB Bentuk Lembaga Khusus Investigasi Genosida Rohingya